Pengayuh Becak

Sudah sangat siang matahari berada diatas kepala. Bayangan tidak membentuk sudut lagi dari terpaan matahari, melainkan menyatu dari bawah kaki membentuk sedikit ukiran hidung bila mereka menoleh kearah lain. Tapi, aktivitas pasar ini tidak bisa lepas dari waktu yang disediakan masih saja ramai oleh pembelian barang-barang grosir maupun yang hanya ingin menikmati berbelanja.

Tubuhnya yang sudah gempal, dengan kulit coklat terbakar dan kaki kirinya menjadi berbeda ukuran. Dia sering mengatakan kalau bengkak itu berasal dari asam urat yang sudah tinggi. Karena, kesulitan sebagai pengayuh becak dia tidak berani memeriksakan diri ke dokter. Bersama seorang yang juga sedang berada dalam becak masing-masing Widarma, terus bercerita tentang keadaannya dengan Palan. Keduanya masih menunggu tumpangan itu mengantarkan orang yang masih berada dipasar. Sinar dari matahari yang terus menghantam kedua becak tersebut tidak lepas dari pedati manusia ini. Hingga siang ini Widarma hanya mengurut bengkak kakinya belum menyentuh pedal becaknya menarik pelanggan.

Kedua pedal dibelakang becaknya tidak berfungsi dari pelataran pasar yang disentuhnya sampai sekarang. Atap yang ditinggalkannya pagi tadi tidak bisa menyisakan sedikit saja isi untuk lambungnya yang berdesir dengan alunannya. Karena, hari ini sang istri menjadi singa buas yang tidak bisa membelikan sepotong saja ikan asin. Dalam benaknya paling tidak kepalanya saja, dengan sedikit bulir beras yang sudah dicacah menjadi penganan kemana uang itu kemarin yang kuberikan padanya. Begitulah cerita itu sayu didengar Palan.

Palan yang berdiam dengan penantian hanya mengikuti cerita itu, kedua matanya masih mengejar kaki-kaki yang sedang lalu lalang. Mengayunkan sesekali tanyanya menancapkan keinginan mereka untuk dibawa olehnya. “mas, susah amat hari ini penumpangnya mana belum ada narik juga”. Ucap Palan sembari memutus cerita yang masih terasa sulit dilepaskan itu dan kembali bekerja. Anggukan Widarma mengemas kepasrahannya, membalikkan cerita-cerita itu dengan mencoba keluar dari becaknya.

Pelupuk pundaknya memberikan tanda yang lain, terik ini akan membawa seorang penumpang. Ibu muda yang menyentuh pundaknya meminta diantar kearah jalan raya merdeka komplek perumahan. “tunggu dulu mas, langsung berangkat saja” wanita muda dengan logat sumatera ini meminta. Karena, Widarma bahkan belum melihat jelas ukiran Ibu muda ini. Pantulan panas permukaan yang diinjak kaki yang membuatnya terburu-buru. Lalu, keduanya mulai menawar harga. Ibu muda itu meminta harga yang tidak sepantasnya alih-alih harga biasa yang ditawarkan sejawatnya Widarma. Begitu kata-kata itu halus membisikkan telinga Widarma bahkan dia belum pernah melihat perangai seperti ini yang mengisi pasar milik kota ini. Bagaimana dia bisa membuat harga padahal dia saja mungkin belum lahir saya sudah menarik becak diseputaran pasar.

Lembaran yang dimaksud membuat Widarma menyerah. Dari ujung penutup atas ban belakang becaknya mulailah becak itu diarahkan turun dari trotoar. Widarma menggerakkan sedikti saja begitu sulit. Tarik lalu dorong lagi, sesuatu bisa menutupi putaran ban becaknya. “ayo dong mas, cepetan panah ini. Ujar Si penumpang. Dua becak lain yang menutupi berputarnya becak itu. Sederetan becak lain juga membuat becak itu tidak bisa digulirkan.

Sulit sekali untuk melepasnya widarma sesekali turun dari trotoar. Melihat sebongkah batu yang sudah digeser tadi. Bentuknya hanya sebesar tomat kisut karena lubang seperti batu apung memperlihatkan kekisutannya. Batu itu digeser kedu kaliya oleh Widarma, sesekali iya tersenyum kearah penumpangnya. Di dorong lagi masih berbalik menjadi menyatu dengan bannya. Kalau itu magnet tidak akan mencari benda temple seperti ban gundul milik becaknya Widarma. Masih saja, Widarma tidak segera saja membuang batu itu keselokan, atau menggesernya lebih jauh sehingga si ibu muda dengan pemadaman sumateranya sudah melimpahkan pekerjaan itu sengan Palan yang masih menunggu penumpangnya.

Akhirnya becak Palan itu meninggalkan pasar. Sedangkan, yang menjadi tumpuan rezekinya si ibu muda tadi masih saja terbenam heran mengamati sebuah batu menjadi penghalang lembar yang diharapkannya. Widarma menekuk simpul lutut menekan bengkak dikaki kirinya melihat lagi batu itu. Sebuah batu bisu mengalahkan manusia yang sekolah dasar tidak tamat pengayuh becak. Bukan karena dia hanya pengayuh becak dia sadar bahwa masih mempelajari yang lain diwaktu malam dialah seorang yang menjadi guru pengajaran ngaji anak-anak dilingkungannya. Kemudian mengambil batu itu menyakukannya dengan berharap penumpang berikutnya menjadi saksi batu ini akan meninggalkannya.

Perutnya terus meremas, jari diujung tangan itu seakan ingin berkata rasa yang dialami badan yang sudah mulai memperlihatkan keriputnya. Begitu takutnya dia dengan apa yang terasa sekarang menambah titik yang panas dari tubuhnya. Sampai dalam penantiannya itu lagi Widarma tidak mau menerima tawaran mengantar. Benaknya tidak menyarankan dia menolak tawaran mengantar hanya saja dengan sedikit saja uang yang diterimanya paling tidak hari ini sudah bisa mengisi ruang kosong dalam perut.

Melainkan pikiran kosong yang masih menyimpan bayangan padanya tentang batu bisu dikantongnya. Bagaimana tidak batu itu membuatnya kehilangan pundi-pundi yang sudah semestinya terisi. Pikirnya begitu mendalam kaki-kaki yang berlalu begitu saja dihadapannya tidak mempunyai nilai lagi. dia sekarang menjadi satu dengan kebisuan sebuah batu. Dia sangat mengharapkan sekali saja pertolongan dari kebenciannya pada batu. Banyak sekali timbang-timbang kenang Widarma karena, kenapa, buat apa. Kalimat yang tertulis dalam pikiriannya menjadikan batu itu sebagai benda berarti atau tidak berarti sama sekali.
Merogoh kantungnya mencoba menyentuh batu itu perlahan sambil memastikan. Perasaan yang begitu mendalam untuk bisa memberikan arti menyentuh hatinya dengan seketika itu. Tiba-tiba menggelontorkan senyumnya berulang pada orang-orang disekitar. Mengayuh pedal sepedanya untuk memberikan berita itu dipondokkannya.

Tidak seperti yang menjadi kegembiraan dalam wajahnya melainkan petaka, betapa tidak istrinya yang mendengarkan begitu panjang cerita itu hanya mau melemparkan batu itu keluar dari rumah. Widarma menghalang-halangi kemarahan istrinya sambil sesekali memegangi tangannya agar tidak melepaskan batu yang sudah membius batin pengayuh becak yang masih kelaparan itu. Tidak ada sedikit saja yang bisa dibuat istrinya dari bilik hitam diruangan dengan tumpukkan kayu dan arang. Tidak ada sedikit saja yang bisa dibawa Widarma untuk makan mereka.
Batu itu menaruh sedikit harapan pada istri Widarma. Sesekali sang istri menjadi lemas dengan berbagai kata yang menyentuh. Keadaan yang sudah sangat panas tadi berubah menjadi harapan. Harapan mulai menghantui keduannya sementara berbagai alasan semakin membuat rumit untuk membuat sedikit saja penganan. Karena, hutang yang masih menumpuk diwarung tetangga, dan lagi hutang itu menyebar sudut-sudut tempat dijualnya berbagai penyediaan lauk.

Keadaannya menjadi sangat sepi keduanya memandang batu. Memberikan perhatian yang sangat dalam, sementara seorang anak yang diberikan kepada mereka hanya terikut dengan keheningan tanpa mencibirkan perasaan yang direnggut oleh tubuh yang sudah tidak kuat menahan pinta makanan. dia mengatakan akan membeli sedikit saja kerupuk dan beras dari kantung dibalik batu tadi. Dia merasakan bahwa benar ajaib, dimana tidak ada sedikitpun harapan dalam balik kantung celana itu adanya lembaran uang. Segera bergegas mencari diwarung sambil mengajak Dido bersamanya. Sementara semua berlalu istrinya mempersiapkan tungku masak. Hari ini mereka sudah melepas ketidakberdayaan itu, untuk memulai langkah besok mencari ciptaan rahasia batu yang membnturkan rezeki sian itu.

Pasar kota tempatnya kembali untuk mencari nafkah. Hari ini dia tidak melakukannya dengan sepeda kayuh dengan tiga roda tadi. Dia hanya menggunakan sebagai kendaraannya untuk sampai dirumah rezeki atasnya.

Sambil sesekali mencoba dengan menarik pendengar buatnya, ternyata masih ada keragu-raguan dalam hatinya. Karena Palan juga tahu tentang batu dibawah becaknya menghalangi untuk diangkat. Sambil menunggu Palan meluncur dia yakin bisa mengambil perhatian banyak orang.

Palan bergerak dengan becaknya dengan seorang penumpang yang hendak diantar dan sudah tertancap dalam pikirannya tempat itu cukup jauh intuk dikayuh membutuhkan waktu satu jam. Nah, inilah kesempatan yang tepat, pikirnya.

Widarma kemudia mendekat salah seorang penarik becak yang lain mencoba menarik perhatiannya dengan memulai cerita dan banyak bertanya. Sesekali ia juga memandang kearah yang lainnya memperlihatkan mereka yang juga tertarik dengan pembicaraan itu. Batu itu dimunculkkan Widarma kemudian memasukkannya kembali. Memulai cerita kembali dan banyak bertanya.

“Mas , bagaimana dengan sesuatu yang bisa membuat lebih enak?, atau membuat ruangan yang bau tidak enak bisa jadi enak. Pertanyaan yang terus diucapkannya. Bangkitlah satu persatu beranjak menjadi lebih dekat dengan dengan batu itu. batunya tidak keluar masuk lagi melainkan sudah digenggam erat oleh Widarma. Mencari dan mencari ruang yang semakin sempit dalam pikiran orang yang sudah membentuk lingkaran pada batu itu. Trotoar parkiran becak-becak dipasar menjadi kehilangan supirnya, semuanya meninggalkan kendaraannya dan masuk dalam suasana Widarma.

Mata-mata yang terpusat pada tangan yang menggenggam batu seolah membuat hisapan pikiran semua bertekuk pada kesaktian yang selalu dihamburkan dari kubangan mulut Widarma. Walaupun seketika ada yang terlepas untuk melihat bacak dan penumpangnya seketika itu pun masuk kembali dalam perhatiannya pada batu. Adalah gambaran yang selalu diulang oleh Widarma. Berulang kali tentang sesuatu yang enak, nyaman, dan ketenangan. Sembari mengatakan untuk membuat makanan yang akan mereka beli di rumah makan padang tempat paling enak dipasar. Bisa menjadi sangat enak melebih rasa yang dimiliki hotel tempat pejabat menyantap hidangan siang. Bisa seperti itu, dengan pertanyaan yang merasuki mereka dalam lingkaran sehingga ruang lingkar itu berakhir dengan suasana tenang untuk mencari sebungkus nasi yang akan dibuat enak.

Terlelap suasananya semua beredar membeli bungkusan nasi dirumah makan yang tidak memberikan kelayakan sebagai manusia. Begitulah yang mereka harapkan dengan jumlah uang setengah dari hari kemarin bisa menyantap rasa yang masih sama seperti kemarin. Beberapa masih membeli di rumah makan padang berharap bisa menikmati makanan hotel. Dibawa ketempat singgah mereka dibawah trotoar dengan tanda perboden berdiri tegak dilarang parkir. Huruf P yang diberikan tanda silang itu tempat suasana mengelilingi sebuah batu.

Pinta Widarma taruh saja dalam kursi becak saya sambil menunggu saja waktu untuk makan siang. Maksudnya supaya batu itu bekerja, begitulah ujar Widarma meyakinkan. Batu dalam genggamannya kemudian meminta mereka berkumpul kembali sembari seribu arti kembali dilemparkan Widarma tanpa tahu akan menjadi apa makanan yang mereka beli itu.

Becaknya beranjak pergi dengan semua makan yang sudah ada diatas becak itu mengikuti becak yang sudah ditarik oleh sang istri. Perlahan becaknya mulai pergi, begitu cepatnya berlalu. Sambil mengemasi ruang wahana-wahana yang ditawarkan Widarma kembali kuat mengatakan tidak ada bedanya semua sudah tertahan dalam harapan kosong. Widarma juga pergi meninggalkan kumpulan itu tanpa sedikit saja membuat mereka kembali untuk bisa menikmati makanan tadi. Sehingga semua melupakannya dan hilang dalam suasana yang hanya terasa memberikan sedikit rasa dalam pikiran. Widarma pergi untuk bisa menikmati makanan dalam atapnya bersama keluarga.

Baca juga : Kumpulan Cerpen natinedJs

Post a Comment

Previous Post Next Post