Adri menyelamatkan penjara Fahmi. Adik seorang wanita yang dicintainya agar tidak terjerat dalam penggunaan obat-obatan haram. Karena, dia bertindak menindak kekuasaan obat itu dari banyak orang penggunanya.
Bukan dia yang seharusnya terpenjara. Siang ini hakim akan membacakan dakwaan. Karena sudah tiga bulan semenjak kejadian pria setengah baya itu harus berada dalam kurungan polsek rawamangun. Pria itu lebih kurus wajahnya pucat kelihatan sangat lelah. Risma hadir pada persidangan itu. Dia sudah bertunangan dengan lelaki di depan persidangan ini. Risma dengan serius memperhatikan setiap detik jalannya persidangan hampir 3 jam dia disana bersama sahabat sang suami. Mereka begitu setia. Lina memegangi Risma karena belakangan ini keluarganya terutama orang tuanya mengurungnya. Keinginan yang begitu besar dia dapat hadir dalam persidangan itu. Risma tidak pernah mendapat kesempatan untuk membuktikan perjalanan Adri sebagai cinta yang beraduk dalam hatinya.
“Adri sudah tidak pantas lagi jadi bagian dari keluarga ini.” Teriakan itu begitu keras. Ayahnnya memekik kencang. Risma masih membela karena kesalahan itu hanya dibuat-buat. Tidak pernah sama sekali Adri menyimpan apalagi menjual belikan barang haram itu. Ketika kedua orang tua mereka sudah memberikan restu. Kejadian itu seperti membuang senyum manis tiap kali Adri memintas izin untuk keluar bersama Risma.
Mobil tahanan datang lebih lambat dari yang diperkirakan. Mereka tampak begitu tegang ketika Adri keluar. Keluarganya juga sudah datang walaupun untuk sampai ke tempat persidangan itu harus menempuh perjalanan yang panjang. Keluarga Adri berada di Cirebon. Tangis Ibu Adri bertambah dan seperti tidak dapat ditahan lagi ketika melihat Adri masuk ke ruang persidangan. Tiga hari berlalu kejadian itu. Saat rumah Risma tidak dihuni karena, kedua orang tuanya pergi ke Surabaya untuk melihat saudara kandungnya paman Nana sakit dan akan menjalani operasi klep jantung yang bocor.
Selama itu Risma bersama adiknya Fahmi menunggu rumah. Fahmi terbiasa pulang malam setelah menjalani setiap hari pekerjaannya di Badan Narkotika Nasional di Jakarta Pusat. Hari kedua. Fahmi membawa temannya untuk menunggu rumah. Karena Risma harus tugas keluar kota untuk melakukan audit unit bank tempatnya bekerja. Sudah ramai 5 orang dari mereka, Fahmi kemudian mengeluarkan linting daun yang sudah menua. Mereka membakarnya warna bau yang memekat ditambah lagi serbuk putih masuk deras kedalam Fahmi. Suasana tersebut menjadi sangat ramai.
Mereka sudah terbang keberbagai belahan dunia dengan perbincangan yang tidak tentu arahnya. Hari ketiga. Adri datang untuk menemani Risma karena Fahmi berada diluar dan sampai malam itu belum ada tanda-tanda akan pulang. Keduanya tidak sekalipun membahas tentang pernikahan yang akan mereka jalani. Tidak ada ketegangan raut wajah keduanya berseri dan banyak tawa yang menghiasi saat itu. Sekelompok Polisi dengan pakaian preman datang tanpa sedikitpun memberikan ruang untuk Adri bergerak dan melawan. Adri ingin mengantar Risma keluar untuk membeli makanan ringan yang akan dimakan bila Adri sudah pulang.
Adri menggunakan jaket Fahmi yang tidak ada sedikitpun diketahui kalau ternyata ada tumpukan obat yang digunakan Fahmi. Adri menggunakan mobil dan rumah itu terlalu sempit untuk memutar mobil. Akhirnya mereka lebih memilih untuk menggunakan motor. Adri tidak dapat berbuat apa-apa. Pil-pil yang masih terbungkus rapi itu berada digenggaman polisi. Kejadian itu begitu cepat ketika Fahmi pulang dengan pakaian yang masih melekat yang menunjukkan tanda jika dia tidak terlibat sedikitpun. Fahmi melirik calon iparnya dengan tajam. Pandangan tajam itu sebagai pesan cepat terlintas pada Adri dan tidak berdaya untuk menolak mengakui kepemilikan itu.
Begitu cepat kabar itu sampai pada aparat yang mempunyai hak untuk menangkapnya. Adri tertunduk dan menyerahkan diri. Risma tidak pernah mengerti jika Adri merupakan bagian dari bungkusan itu. “Tidak pak, bukan dia!” teriak Risma pada polisi. Keinginan untuk menjelaskan semua itu tidak ada gunanya lagi Adri berjalan mengikuti langkah polisi yang memaksanya masuk dalam mobil pemberhentian sejenak permata kehidupan.
“Dek, harapanku kamu bisa menunggu sampai aku keluar.” Permintaan Adri usai persidangan. Risma hanya bisa menangis tidak tahu mengapa Adri bahkan tidak ada keinginan untuk mengurangi masa terpenjara itu. Adri kemudian dibawa menuju LP rawamangun. Adri tidak melakukan apapun kecuali membenahi diri dan terus membangun sebuah cinta yang tidak lekang tanpa bersama. Adri melihat hatinya setiap waktu-waktu bersama Risma. Karena Risma adalah wanita yang mewarnai harinya. Risma sudah menjadi pondasi setiap katanya mengingatkan Adri untuk menjadi laki-laki. Selama waktu itu.
Risma berdiri sendiri. Sayap-sayapnya patah tubuhnya menjadi ringan mencari, membuka, melihat dan menguraikan semua kejadian itu satu per satu. Tidak pernah Adri yang dikenalnya bisa memakan atau sekalipun dia mencampurnya sebagi sayur. Risma tidak pernah percaya begitu saja. Walaupun Adri hanya meminta satu hal setiap kali Risma menjenguknya. “dek, jangan mencari cerita sebenarnya!”. Setiap kali pesan itu sampai di rongga kupingnya setiap kali itu juga Risma berpikir bahwa semuanya akan terungkap.
Adri menggunakan jaket Fahmi yang tidak ada sedikitpun diketahui kalau ternyata ada tumpukan obat yang digunakan Fahmi. Adri menggunakan mobil dan rumah itu terlalu sempit untuk memutar mobil. Akhirnya mereka lebih memilih untuk menggunakan motor. Adri tidak dapat berbuat apa-apa. Pil-pil yang masih terbungkus rapi itu berada digenggaman polisi. Kejadian itu begitu cepat ketika Fahmi pulang dengan pakaian yang masih melekat yang menunjukkan tanda jika dia tidak terlibat sedikitpun. Fahmi melirik calon iparnya dengan tajam. Pandangan tajam itu sebagai pesan cepat terlintas pada Adri dan tidak berdaya untuk menolak mengakui kepemilikan itu.
Begitu cepat kabar itu sampai pada aparat yang mempunyai hak untuk menangkapnya. Adri tertunduk dan menyerahkan diri. Risma tidak pernah mengerti jika Adri merupakan bagian dari bungkusan itu. “Tidak pak, bukan dia!” teriak Risma pada polisi. Keinginan untuk menjelaskan semua itu tidak ada gunanya lagi Adri berjalan mengikuti langkah polisi yang memaksanya masuk dalam mobil pemberhentian sejenak permata kehidupan.
“Dek, harapanku kamu bisa menunggu sampai aku keluar.” Permintaan Adri usai persidangan. Risma hanya bisa menangis tidak tahu mengapa Adri bahkan tidak ada keinginan untuk mengurangi masa terpenjara itu. Adri kemudian dibawa menuju LP rawamangun. Adri tidak melakukan apapun kecuali membenahi diri dan terus membangun sebuah cinta yang tidak lekang tanpa bersama. Adri melihat hatinya setiap waktu-waktu bersama Risma. Karena Risma adalah wanita yang mewarnai harinya. Risma sudah menjadi pondasi setiap katanya mengingatkan Adri untuk menjadi laki-laki. Selama waktu itu.
Risma berdiri sendiri. Sayap-sayapnya patah tubuhnya menjadi ringan mencari, membuka, melihat dan menguraikan semua kejadian itu satu per satu. Tidak pernah Adri yang dikenalnya bisa memakan atau sekalipun dia mencampurnya sebagi sayur. Risma tidak pernah percaya begitu saja. Walaupun Adri hanya meminta satu hal setiap kali Risma menjenguknya. “dek, jangan mencari cerita sebenarnya!”. Setiap kali pesan itu sampai di rongga kupingnya setiap kali itu juga Risma berpikir bahwa semuanya akan terungkap.
Risma tetap menjalani berbagai pekerjaan yang menunggunya setiap bulan. Dia masih berlari mengejar bus way, dia juga masih meneriaki seseorang ketika pintu lift akan tertutup supaya menjag pintu sampai dia ikut lift.
Catatan kecil lembar kalender handphone setiap hari dilepaskan dengan nada peringatan. Kedua orang tuanya membawa perkenalan lain. Karena, usia Risma semakin bertambah. Fahmi sudah menjalani masa bertunangan. Tapi, tidak mengerti Risma menjadi pemberontak tanpa menghawatirkan jika Adri memang terlibat. “Sudah kamu bisa mengenal Sopian, dia anak yang baik. Dia juga PNS.” Risma tersesat dalam belenggu yang sangat sulit. Sangat mudah baginya untuk melupakan Adri. Berjalan diantara ruas jalan yang sempit dan lebar. Kakinya terhenti karena kedua jalan itu tidak tahu kemana arahnya. Risma hanya bisa terpaku mengisyaratkan sedikit senyuman dari jalan-jalan yang pernah dilaluinya bersama Adri. Dalam benaknya lirih aku hanya ingin tahu apakah dua jalan ini akan berujung kebahagiaan.
Sudah saatnya menentukan pilihan. Bila tiga tahun ini terjadi berarti Risma akan menginjak usia 30 tahun ketika itu terjadi seorang wanita begitu menakuti bagaimana dia harus menjaga bayi yang akan dititipkan untuknya. Tapi, tidak untuk semua itu Risma hanya ingin menunggu sampai dia tahu siapakah yang terlibat dari keadaan terpenjara itu.
Serbuk yang masih berbekas diantara meja laptop yang biasa digunakan oleh. Risma membersihkan bubuk itu. Untuk mendengarkan suara yang akan dialunkannya dengan pemutar musik. Serbuk itu seperti tidak bisa lekang dan aroma khas obat menusuk masuk dalam hidungnya dan serpihan itu masih tidak bisa lepas. Risma bertanya sedikit lagi apakah semuanya itu. Dia tidak pernah mengerti Fauzan bagian dari anti beredarnya benda itu. Risma terus mencari dimana lagi asal barang itu. Dari lemari, laci, melihat bagian atas lemari yang tertumpuk barang-barang Fauzan yang biasa digunakannya. Tidak ada lagi barang itu. Hatinya bertanya apakah mungkin Fauzan menggunakan barang itu. Risma tidak mampu berdiri seakan kehilangan kakinya hanya bertanya apakah mungkin.
Beberapa jam kemudian Risma terus menunggu dan menantikan Fauzan datang. “Krek.” Bunyi pintu yang dibuka. Fauzan melihat tidak berdaya, tidak biasanya dia melihat kakaknya ada didalam kamar. “apa arti dari semua ini Fauzan, mba minta kamu jujur?” tanya Risma tanpa senyum dan menyapa. “apa urusan mba ada didalam kamarku?”. Teriakan keras Risma meminta penjelasan terus bergeliat. Seperti perangai anjing mengerang begitu sakit dan tidak dapat tertahankan lagi. Bila terjadi pertarungan diantara anjing yang merebutkan kehangatan karena untuk perkembang biakan. Hanya saja diantaranya hanya ada satu pemenang untuk satu bagian. Diantara yang tidak bisa melepaskan kekalahan itu tidak dapat memperhatikan karena tidak ada yang dapat diperhatikan lagi.
Suasana malam begitu sepi dan akan menjadi penantian panjang karena nasib Fauzan ada di genggaman Risma. Karena tidak dapat menghalangi kejadian itu. Menjadi cap biru perjalanan kehidupan mereka jalani. Antara sebuah pemberitahuan atau pendaftaran seorang peserta yang akan maju untuk seleksi.
Sangat dekat keterkaitan antara kejadian itu. Bila jam ini bisa berhenti untuk beberapa tahun kedepan. Perasaan begitu mendalam bagi Risma suatu yang diluar harapan, sinar lampu di depan rumah menghiasi air mata yang membasahi pipinya. Matanya sayu melihat jatuh ke lantai melihat keceriaan Ozan bukan barang yang digunakan itu. Risma hanya ingin menunggu detik palu yang akan dijatuhkan di lantai ketukan. Sang pengadil sudah mendapatkan pasal terbaik untuk menjerat kesayangannya. Seseorang yang masuk kehidupannya menjadi lebih berarti dibandingkan anjing yang tidak bertuan. Mereka semua dari perkataan tertajam sudah tertusuk langsung dalam batin Risma. Mungkin teriakan itu melonglong keras tidak ada yang menghalangi semua perkataan mereka untuk tidak didengar.
Perkataan yang begitu tajam. Perkataan yang menyesalkan. Pernyataaan yang menjadi saksi kalau pikiran mereka semua sudah benar. Perkataan yang menganggap mereka pemilik dunia ini sehingga akan terjadi seperti sekarang. Tentang Ozan yang akan menjadi seperti sekarang.
Ratapan itu terus mengeluarkan setitik air. Perasaan begitu mendalam tidak dapat dihentikan Risma. Sudah mendekati waktu untuknya siap berangkat melihat wajah sangar pengadil. Hari semakin terang dan tidak ada kekuatan lagi Risma untuk beranjak. Pikiran bertubi-tubi tentang membuatnya sangat lemah. Tidak dapat bergerak seleluasa anakan hewan yang belum mempunyai kaki yang kuat.
Wajahnya menjadi begitu pucat pasih kulit putih terlihat sedikit guratan dipipinya. Kulit tipisnya memperlihatkan mukanya begitu pucat. Tidak ada satu lagi keluarganya hendak berada disampingnya untuk membasuh hatinya. Hanya ada Risna adiknya yang terus setia dengan kejadian Adri. “Tiga Tahun, Tiga Bulan dikurangi masa tahanan 3 bulan” ketuk palu tiga kali. Bukan kepemilikan dan tidak pernaha menggunakan barang itu.
Catatan kecil lembar kalender handphone setiap hari dilepaskan dengan nada peringatan. Kedua orang tuanya membawa perkenalan lain. Karena, usia Risma semakin bertambah. Fahmi sudah menjalani masa bertunangan. Tapi, tidak mengerti Risma menjadi pemberontak tanpa menghawatirkan jika Adri memang terlibat. “Sudah kamu bisa mengenal Sopian, dia anak yang baik. Dia juga PNS.” Risma tersesat dalam belenggu yang sangat sulit. Sangat mudah baginya untuk melupakan Adri. Berjalan diantara ruas jalan yang sempit dan lebar. Kakinya terhenti karena kedua jalan itu tidak tahu kemana arahnya. Risma hanya bisa terpaku mengisyaratkan sedikit senyuman dari jalan-jalan yang pernah dilaluinya bersama Adri. Dalam benaknya lirih aku hanya ingin tahu apakah dua jalan ini akan berujung kebahagiaan.
Sudah saatnya menentukan pilihan. Bila tiga tahun ini terjadi berarti Risma akan menginjak usia 30 tahun ketika itu terjadi seorang wanita begitu menakuti bagaimana dia harus menjaga bayi yang akan dititipkan untuknya. Tapi, tidak untuk semua itu Risma hanya ingin menunggu sampai dia tahu siapakah yang terlibat dari keadaan terpenjara itu.
Tanpa hentinya dia mencari tahu. Ketika saat itu datang setelah lama menantikannya. Risma ingin sekali tidur dikamar adiknya. Karena hari itu berasa sangat panas sekali. Risma menjadi seorang diri begitu banyak teman-temannya yang ingin keluar bersamanya tapi keinginan itu tidak pernah terjadi. Risma menyalakan AC yang sudah dipasang Fauzan dengah kamar antara kamar orang tuanya dan kamarnya.
Serbuk yang masih berbekas diantara meja laptop yang biasa digunakan oleh. Risma membersihkan bubuk itu. Untuk mendengarkan suara yang akan dialunkannya dengan pemutar musik. Serbuk itu seperti tidak bisa lekang dan aroma khas obat menusuk masuk dalam hidungnya dan serpihan itu masih tidak bisa lepas. Risma bertanya sedikit lagi apakah semuanya itu. Dia tidak pernah mengerti Fauzan bagian dari anti beredarnya benda itu. Risma terus mencari dimana lagi asal barang itu. Dari lemari, laci, melihat bagian atas lemari yang tertumpuk barang-barang Fauzan yang biasa digunakannya. Tidak ada lagi barang itu. Hatinya bertanya apakah mungkin Fauzan menggunakan barang itu. Risma tidak mampu berdiri seakan kehilangan kakinya hanya bertanya apakah mungkin.
Beberapa jam kemudian Risma terus menunggu dan menantikan Fauzan datang. “Krek.” Bunyi pintu yang dibuka. Fauzan melihat tidak berdaya, tidak biasanya dia melihat kakaknya ada didalam kamar. “apa arti dari semua ini Fauzan, mba minta kamu jujur?” tanya Risma tanpa senyum dan menyapa. “apa urusan mba ada didalam kamarku?”. Teriakan keras Risma meminta penjelasan terus bergeliat. Seperti perangai anjing mengerang begitu sakit dan tidak dapat tertahankan lagi. Bila terjadi pertarungan diantara anjing yang merebutkan kehangatan karena untuk perkembang biakan. Hanya saja diantaranya hanya ada satu pemenang untuk satu bagian. Diantara yang tidak bisa melepaskan kekalahan itu tidak dapat memperhatikan karena tidak ada yang dapat diperhatikan lagi.
Suasana malam begitu sepi dan akan menjadi penantian panjang karena nasib Fauzan ada di genggaman Risma. Karena tidak dapat menghalangi kejadian itu. Menjadi cap biru perjalanan kehidupan mereka jalani. Antara sebuah pemberitahuan atau pendaftaran seorang peserta yang akan maju untuk seleksi.
Sangat dekat keterkaitan antara kejadian itu. Bila jam ini bisa berhenti untuk beberapa tahun kedepan. Perasaan begitu mendalam bagi Risma suatu yang diluar harapan, sinar lampu di depan rumah menghiasi air mata yang membasahi pipinya. Matanya sayu melihat jatuh ke lantai melihat keceriaan Ozan bukan barang yang digunakan itu. Risma hanya ingin menunggu detik palu yang akan dijatuhkan di lantai ketukan. Sang pengadil sudah mendapatkan pasal terbaik untuk menjerat kesayangannya. Seseorang yang masuk kehidupannya menjadi lebih berarti dibandingkan anjing yang tidak bertuan. Mereka semua dari perkataan tertajam sudah tertusuk langsung dalam batin Risma. Mungkin teriakan itu melonglong keras tidak ada yang menghalangi semua perkataan mereka untuk tidak didengar.
Perkataan yang begitu tajam. Perkataan yang menyesalkan. Pernyataaan yang menjadi saksi kalau pikiran mereka semua sudah benar. Perkataan yang menganggap mereka pemilik dunia ini sehingga akan terjadi seperti sekarang. Tentang Ozan yang akan menjadi seperti sekarang.
Ratapan itu terus mengeluarkan setitik air. Perasaan begitu mendalam tidak dapat dihentikan Risma. Sudah mendekati waktu untuknya siap berangkat melihat wajah sangar pengadil. Hari semakin terang dan tidak ada kekuatan lagi Risma untuk beranjak. Pikiran bertubi-tubi tentang membuatnya sangat lemah. Tidak dapat bergerak seleluasa anakan hewan yang belum mempunyai kaki yang kuat.
Wajahnya menjadi begitu pucat pasih kulit putih terlihat sedikit guratan dipipinya. Kulit tipisnya memperlihatkan mukanya begitu pucat. Tidak ada satu lagi keluarganya hendak berada disampingnya untuk membasuh hatinya. Hanya ada Risna adiknya yang terus setia dengan kejadian Adri. “Tiga Tahun, Tiga Bulan dikurangi masa tahanan 3 bulan” ketuk palu tiga kali. Bukan kepemilikan dan tidak pernaha menggunakan barang itu.
Baca juga : Kumpulan Cerpen natinedJs
Tags
Cerita Pendek