Awalnya karena ketidakpercayaan.
Berbagai perangai muncul dalam kehidupannya, dia tidak biasa dengan percakapan.
Hanya sedikit saja kata bilakah itu masih dalam keluarganya untuk berkata
dimanakah tempat pakaian yang akan dipakainya. Selebihnya dia seperti batu
tanpa geming dari sekelumit kehidupan terbiasanya dia adalah diam itu sendiri.
Bisa saja dia sudah tidak bernyawa.
Berjalannya waktu telah lama. Dia
mengalami pertemananan, dari bangku sekolahnya. Berteman dengan jejak para
pendaki yang meramaikan kembali diamnya. Sontak begitu keramaian itu menjadi penghibur
orang tuanya yang menantikan keadaan itu. Sekarang dia bisa banyak
berkomunikasi, tapi begitulan semua keadaan itu dari apapun tiada yang bisa
mengetahui apa yang sedang terjadi dengannya. Bila ada perubahan yang
mengganggu dia kembali menjadi diam dan meninggalkan siapapun dalam masalahnya.
Dia tidak pernah tampil menjadi apapun.
Kelasnya hanya tahu bahwa dia adalah kenakalan lain dari para pendaki. Banyak
berkumpul dengan para pendaki. Pendaki dengan kehidupan alamnya teriakan dari
atas pegunungan menggaung sampai disekolah.
Keramaian memekakkan kumpulan lain di
kantin sekolah. Ruangan itu juga menggaung karena tertutup karena ruangan
kantin berada di sudut sekolah dan tertutup ruangan sekolah. Kantin itu
menghadap kedalam. Tidak ada akses keluar dari sekolah itu untuk tindakan
melanggar. Kebiasaan baru si pendiam atau ini kegerahannya karena sekolah
adalah hunian dari para pencari ilmu.
Dia tidak mempunyai kemampuan belajar.
Seorang anak pendiam tanpa talenta, sekarang sudah mengikuti jejak pemain
bilyar dengan seragam ganti dalam tas jinjingnya. Bertaruh untuk seorang wanita
atau hanya bertaruh untuk membayar semua pesanan meja hijau itu. Hari-hari si
pendiam sudah berubah menjadi nakal dan liar.
Hentakan kaki-kaki berlari.
Berlarilah…
Begitu mudahnya mereka berempat menembus
ruangan sekolah keluar dan masuk kembali dengan keadaan seperti anak lainnya. Duduk
kembali di kelas masing-masing untuk mendengarkan kicauan berbagai mata ajar.
Kegaduhan itu terjadi dan terjadi lagi, tidak ada yang berani mengendalikan
para pendaki dan beberapa rombongan lainnya. Mereka tetap tampak sedang
menjalani pelajaran.
Mereka bergerak tanggap bilakah guru
tidak berada di ruangan atau sedang menyatu dengan papan tulis. Dua orang
bergerak kedepan ruangan kelas untuk mengalihkan para penggaduh. Tidak ada
orang dalam kelas itu hendak menghentikan langkah mereka melainkan memutar
keadaan untuk seorang guru tidak tahu jika mereka tidak berada di dalam kelas
itu selama pelajaran.
Kami merindukannya kenakalannya dan
kebaikannya. Dua pribadi bersatu didalamnya tapi dia tidak pernah mengganggu
kehidupan orang lain. Dia melakukannya untuk dirinya sendiri untuk
kesenangannya sendiri. Ternyata sampai akhirnya dari awal tidak ada keputusan
membenarkannya bisa pergi ke pantai. Laut sedang bergemuruh di akhir tahun
karena tingginya aliran air dari hujan.
Sebuah akhir atau awalan karena tidak
pernah terbersit di dalam hatinya untuk memulai semua keadaan ini. Dia tidak
pernah berlari dari apapun yang di alaminya. Bahkan ketika kematian itu
merenggutnya dia hanya bisa terdiam jika dia tidak mempunyai waktu lagi untuk
hidup dalam dunia ini.
Kami masih melihat matanya sangat halus.
Masih melihat kearah kami. Badannya masih terbujur kaku karena banyak menelan
air laut asin. Dia tidak bisa bernapas sedikitpun, matanya menyisakan sedikit
tangis. Kejadian ini memberatkannya dia tidak bisa berkata-kata lagi. “mama.”
Bibirnya bergerak pelan mengucapkan panggilan mamanya.
Ketika mereka berangkat ingin menikmati
suasana pantai di akhir tahun. Seorang ibu bersama dua adiknya sudah melarang.
Tidak berhenti ibu mengatakan “jangan pergi nak, laut berbahaya saat suro”.
Wajahnya sangat khawatir karena wawan
masih mengemasi barangnya. Pelan ibu berbicara karena wawan tetaplah panutan
bagi dua adik perempuannya. Sedangkan bila terjadi sesuatu, karena di musim
suro banyak tempat dimana nyawa sia-sia. Penjelasan itu tidak ada yang bisa di
terima wawan. Ucapnya untuk membalas permintaan ibu “wawan tidak apa-apa bu,
tidak akan masuk ke laut.”
Sambil memegangi tangan ibunya, Wawan
mengatakan untuk kembali kerumah dengan selamat. Rasa khawatir juga terjadi di antara
dua adiknya. Keduanya melihat Mas Wawan bersikeras mengemasi barangnya. Dari
balik pintu mereka berdua seperti ingin memegangi pintu. Biarlah pintu ini di
dobrak dahulu agar Mas Wawan bisa keluar. Si kembar berprasangka sama tapi
tidak mudah untuk menggoyahkan keinginan Wawan sehingga mereka melepaskannya
tanpa kata melambaikan tangan.
Ini bukan kali pertama pembangkangan
ini. Seorang laki-laki bengal tapi menyayangi kedua adiknya. Setiap hari dia
selalu membawakan makanan dari perkumpulannya sebagai pendaki. Karena mereka
selalu berkumpul untuk membahas acara dan penggalangan dana. Melihat keadaan
alam di luar tergerus rusak karena kerusakan kota. Pendaki-pendaki yang sangat
peduli lingkungan tapi mereka tidak tahu seberapa berharganya nyawa mereka
diatas kerusakan yang mereka maksud.
Makanan-makanan hasil pertemuan itu
selalu enak. Keduanya melahap setiap makanan itu. Bersama ibu yang
menghidangkan makanannya tapi wawan tidak pernah makan dari bawaan itu. Dia
hanya memakan masakan ibunya meski itu hanya kecap manis di dalam bungkusan
yang sudah dikerumuni semut.
Dialah Wawan, tidak tahu seberapa
hebatpun orang itu dia hanya bisa mengatakan jika dia bisa berkata tentang
pengetahuannya. Pengetahuan tentang alam menyatu dalam dirinya dari berbagai
lantunan puisi dari setiap perjalanannya. Dia selalu menjuarai bidang pendakian
ini. Banyak acara yang telah menawarkannya bergabung dan memberikan tempat baru
bagi langkahnya.
Kakinya kokoh menapaki setiap pendakian.
Perjalanan awalanya sebagai pendiam dan menjadi nakal pendakiannya pada dinding
tiap sekolah. Dari dasar sampai tingkat akhir dia terus melakukan kenakalan
pendakian yang tidak menghasilkan itu. Tidak ada yang tahu apa arti semua itu
baginya. Setiap kali seorang guru menangkapnya ketika penuruni pendakian
dinding itu. Jawabannya.
“Aku tidak pernah tahu!”.
Untuk apa tindakan pembolosan itu.
Melakukan keinginan untuk keluar dari kelas dan melompati pagar. Tidak pernah
terjadi. Fatal yang mencelakakan agar Wawan dapat sadar bahwa semua itu tidak benar.
Perasaan seorang ibu yang melahirkannya. Sesekali menangisi kejadian itu,
apakah dosa dari lahirnya Wawan. Karena, tidak mungkin sosok kematian sang ayah
yang menjadi kemarahan Wawan. Dia bahkan tidak pernah tahu bapaknya pernah
hidup di dunia ini sehingga ibu harus melahirkan anak laki nakal.
Bersama rombongan mengendarai mobil.
Mereka sampai di tempat untuk memulai perjalanan. Melindungi bumi dari
kerusakan. Membersihkan seputaran hutan gunung karena tangan-tangan tidak
bertanggung jawab. Pandangan masih gelap karena waktunya tepat sekali menanti
subuh dan bergerak jalan menuju puncak. Ingin sekali Wawan menancapkan bendera
pertama kalinya di atas nanti. Gunung Cikuray.
Tetap berdiam dan terus berjalan. Sudah
menghampiri ke enam wajah muda itu. Tidak ada nelangsa terik itu keluar sedikit
meninggikan suhunya. Kepalanya menegak Wawan dan temannya dengan pundakan tas
berisi perbekalan mereka. Muka Wawan menjadi pucat, menjadi tidak semeriah
awalnya. Kulitnya kuning langsat, alis cukup tebal dan rambutnya berjigrak.
Mudah sekali untuk tahu jika tremor itu menghampirinya. Walaupun Wawan tetap
berdiam tapi rupa pucat itu pertanda.
Melihat keadaan itu sebagai pengemban
keputusan dari anggotanya. Wawan memilih untuk menurunkan tiap ransel. Sudah
cukup lelah. Sesekali hidup binatang penghuni hutan ini muncul hanya ingin
melihat atau ingin berkenalan. Seeokor jalak dengan suaranya menyeruak. Kami
menyebutnya pemandu pada burung jalak karena akan mengikuti gerak dakian ini..
“2.820 meter dari permukaan laut” keluh
Reni.
Tidak ada jawan dari perkataan itu.
Kecuali setiap kunyahan dan memulai mencampuri mulut mereka dengan air. Pelega
dahaga. Untuk mencapai ketinggian itu perlu waktu sekali membentuk tenda diatas
nanti. Kembali mengangkat badannya yang layu tapi dia tidak mau berhenti.
Dari
atas latar pundakan gunung. Seudah terlihat jelas kabut menghiasi kawasan di
bawah sana. Angin meniupi deras. Sebentara lagi kaki-kaki kokoh itu berjalan
perlahan. Sudah menuju puncak. Setelah beberapa jam istirahat dalam tenda
darurat. Pengistirahat bersyarat bila tidak ada seorangpun disana berkata
tentang kotoran. Tidak akan terjadi gangguan pada mereka. Benar mereka sudah
terbiasa di alam raya, sehingga semua karya Ilahi sangat di hargai oleh mereka.
Tidak ada perkataan. Kecuali menjadi warna dalam hidup laki-laki yang menjadi
ketua mereka. Tanpa henti hanya mengasah kayu untuk tanda jalan mereka.
“Merdeka...”
“Merdeka...”
Leni sudah menyiapkan nesting.
Menghamburkan semua perbekalan karena sudah mencapai puncak ini. Bedesir
keharuan Wawan, keresahan karena tubuhnya sudah lunglai. Bilakah roboh juara
pendakian itu bisa kemalangan atas namanya. Tapi, apakah itu harus
dipertahankan hanya cuma untuk member tahu kejuaraannya.
Pertama kali menancapkan bendera itu.
Telah berkibar. Tiba-tiba hipotermia itu dengan cepat menyerang. Membuat kaki
Wawan tidak berdaya sedikit lagi, kakinya kemudia tersely di antara dua batu.
Akhirnya dia tergelincir meluncur menuju jurang. Padahal ransel yang di bawanya
mash berada di pundaknya.
Dari perkebunan teh dayeuh manggung.
Seorang ibu menantikan kembalinya Wawan. Jatuh ke dalam jurang itu, jawaban
orang-orang. Tidak ada kemungkinan untuk menemukannya. Laporan pertama kali di
bawa Leni menuruni puncak dengan cepat untuk membawa berita pada penyelamat.
Pencarian tersebut berlangsung. Anjing
pemburu mengendus bebauan milik Wawan. Badan yang di nantikan itu tepat berada
di tandu. Keselamatannya terjaga jelas di bawah jurang terjal itu. Kebaikannya
berbuah kemalangan akhir dari awal ketika dulu kenakalan itu tidak pernah
menjadi permintaan ibunya. Sebuah kecelakaan yang akan mengingatkannya.
Tetapi sekarang dia mengalaminya. Sang
juara masih terkujur rebah dalam pertolongan penyelamat. Mungkin tidak aka nada
yang akan pernah tahu seperti apa teguran itu terjadi.
Lihat juga : Kumpulan Cerpen natinedJs
Nesting : tempat memasak tentara
Tags
Cerita Pendek