Anjing Pemburu | Cerpen

Awalnya karena ketidakpercayaan. Berbagai perangai muncul dalam kehidupannya, dia tidak biasa dengan percakapan. Hanya sedikit saja kata bilakah itu masih dalam keluarganya untuk berkata dimanakah tempat pakaian yang akan dipakainya. Selebihnya dia seperti batu tanpa geming dari sekelumit kehidupan terbiasanya dia adalah diam itu sendiri.




Bisa saja dia sudah tidak bernyawa.

Berjalannya waktu telah lama. Dia mengalami pertemananan, dari bangku sekolahnya. Berteman dengan jejak para pendaki yang meramaikan kembali diamnya. Sontak begitu keramaian itu menjadi penghibur orang tuanya yang menantikan keadaan itu. Sekarang dia bisa banyak berkomunikasi, tapi begitulan semua keadaan itu dari apapun tiada yang bisa mengetahui apa yang sedang terjadi dengannya. Bila ada perubahan yang mengganggu dia kembali menjadi diam dan meninggalkan siapapun dalam masalahnya.

Dia tidak pernah tampil menjadi apapun. Kelasnya hanya tahu bahwa dia adalah kenakalan lain dari para pendaki. Banyak berkumpul dengan para pendaki. Pendaki dengan kehidupan alamnya teriakan dari atas pegunungan menggaung sampai disekolah.

Keramaian memekakkan kumpulan lain di kantin sekolah. Ruangan itu juga menggaung karena tertutup karena ruangan kantin berada di sudut sekolah dan tertutup ruangan sekolah. Kantin itu menghadap kedalam. Tidak ada akses keluar dari sekolah itu untuk tindakan melanggar. Kebiasaan baru si pendiam atau ini kegerahannya karena sekolah adalah hunian dari para pencari ilmu.

Dia tidak mempunyai kemampuan belajar. Seorang anak pendiam tanpa talenta, sekarang sudah mengikuti jejak pemain bilyar dengan seragam ganti dalam tas jinjingnya. Bertaruh untuk seorang wanita atau hanya bertaruh untuk membayar semua pesanan meja hijau itu. Hari-hari si pendiam sudah berubah menjadi nakal dan liar.
Hentakan kaki-kaki berlari.
Berlarilah…

Begitu mudahnya mereka berempat menembus ruangan sekolah keluar dan masuk kembali dengan keadaan seperti anak lainnya. Duduk kembali di kelas masing-masing untuk mendengarkan kicauan berbagai mata ajar. Kegaduhan itu terjadi dan terjadi lagi, tidak ada yang berani mengendalikan para pendaki dan beberapa rombongan lainnya. Mereka tetap tampak sedang menjalani pelajaran.

Mereka bergerak tanggap bilakah guru tidak berada di ruangan atau sedang menyatu dengan papan tulis. Dua orang bergerak kedepan ruangan kelas untuk mengalihkan para penggaduh. Tidak ada orang dalam kelas itu hendak menghentikan langkah mereka melainkan memutar keadaan untuk seorang guru tidak tahu jika mereka tidak berada di dalam kelas itu selama pelajaran.

Kami merindukannya kenakalannya dan kebaikannya. Dua pribadi bersatu didalamnya tapi dia tidak pernah mengganggu kehidupan orang lain. Dia melakukannya untuk dirinya sendiri untuk kesenangannya sendiri. Ternyata sampai akhirnya dari awal tidak ada keputusan membenarkannya bisa pergi ke pantai. Laut sedang bergemuruh di akhir tahun karena tingginya aliran air dari hujan.

Sebuah akhir atau awalan karena tidak pernah terbersit di dalam hatinya untuk memulai semua keadaan ini. Dia tidak pernah berlari dari apapun yang di alaminya. Bahkan ketika kematian itu merenggutnya dia hanya bisa terdiam jika dia tidak mempunyai waktu lagi untuk hidup dalam dunia ini.

Kami masih melihat matanya sangat halus. Masih melihat kearah kami. Badannya masih terbujur kaku karena banyak menelan air laut asin. Dia tidak bisa bernapas sedikitpun, matanya menyisakan sedikit tangis. Kejadian ini memberatkannya dia tidak bisa berkata-kata lagi. “mama.” Bibirnya bergerak pelan mengucapkan panggilan mamanya.

Ketika mereka berangkat ingin menikmati suasana pantai di akhir tahun. Seorang ibu bersama dua adiknya sudah melarang. Tidak berhenti ibu mengatakan “jangan pergi nak, laut berbahaya saat suro”.

Wajahnya sangat khawatir karena wawan masih mengemasi barangnya. Pelan ibu berbicara karena wawan tetaplah panutan bagi dua adik perempuannya. Sedangkan bila terjadi sesuatu, karena di musim suro banyak tempat dimana nyawa sia-sia. Penjelasan itu tidak ada yang bisa di terima wawan. Ucapnya untuk membalas permintaan ibu “wawan tidak apa-apa bu, tidak akan masuk ke laut.”

Sambil memegangi tangan ibunya, Wawan mengatakan untuk kembali kerumah dengan selamat. Rasa khawatir juga terjadi di antara dua adiknya. Keduanya melihat Mas Wawan bersikeras mengemasi barangnya. Dari balik pintu mereka berdua seperti ingin memegangi pintu. Biarlah pintu ini di dobrak dahulu agar Mas Wawan bisa keluar. Si kembar berprasangka sama tapi tidak mudah untuk menggoyahkan keinginan Wawan sehingga mereka melepaskannya tanpa kata melambaikan tangan.

Ini bukan kali pertama pembangkangan ini. Seorang laki-laki bengal tapi menyayangi kedua adiknya. Setiap hari dia selalu membawakan makanan dari perkumpulannya sebagai pendaki. Karena mereka selalu berkumpul untuk membahas acara dan penggalangan dana. Melihat keadaan alam di luar tergerus rusak karena kerusakan kota. Pendaki-pendaki yang sangat peduli lingkungan tapi mereka tidak tahu seberapa berharganya nyawa mereka diatas kerusakan yang mereka maksud.

Makanan-makanan hasil pertemuan itu selalu enak. Keduanya melahap setiap makanan itu. Bersama ibu yang menghidangkan makanannya tapi wawan tidak pernah makan dari bawaan itu. Dia hanya memakan masakan ibunya meski itu hanya kecap manis di dalam bungkusan yang sudah dikerumuni semut.

Dialah Wawan, tidak tahu seberapa hebatpun orang itu dia hanya bisa mengatakan jika dia bisa berkata tentang pengetahuannya. Pengetahuan tentang alam menyatu dalam dirinya dari berbagai lantunan puisi dari setiap perjalanannya. Dia selalu menjuarai bidang pendakian ini. Banyak acara yang telah menawarkannya bergabung dan memberikan tempat baru bagi langkahnya.

Kakinya kokoh menapaki setiap pendakian. Perjalanan awalanya sebagai pendiam dan menjadi nakal pendakiannya pada dinding tiap sekolah. Dari dasar sampai tingkat akhir dia terus melakukan kenakalan pendakian yang tidak menghasilkan itu. Tidak ada yang tahu apa arti semua itu baginya. Setiap kali seorang guru menangkapnya ketika penuruni pendakian dinding itu. Jawabannya.
“Aku tidak pernah tahu!”.

Untuk apa tindakan pembolosan itu. Melakukan keinginan untuk keluar dari kelas dan melompati pagar. Tidak pernah terjadi. Fatal yang mencelakakan agar Wawan dapat sadar bahwa semua itu tidak benar. Perasaan seorang ibu yang melahirkannya. Sesekali menangisi kejadian itu, apakah dosa dari lahirnya Wawan. Karena, tidak mungkin sosok kematian sang ayah yang menjadi kemarahan Wawan. Dia bahkan tidak pernah tahu bapaknya pernah hidup di dunia ini sehingga ibu harus melahirkan anak laki nakal.

Bersama rombongan mengendarai mobil. Mereka sampai di tempat untuk memulai perjalanan. Melindungi bumi dari kerusakan. Membersihkan seputaran hutan gunung karena tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Pandangan masih gelap karena waktunya tepat sekali menanti subuh dan bergerak jalan menuju puncak. Ingin sekali Wawan menancapkan bendera pertama kalinya di atas nanti. Gunung Cikuray.

Tetap berdiam dan terus berjalan. Sudah menghampiri ke enam wajah muda itu. Tidak ada nelangsa terik itu keluar sedikit meninggikan suhunya. Kepalanya menegak Wawan dan temannya dengan pundakan tas berisi perbekalan mereka. Muka Wawan menjadi pucat, menjadi tidak semeriah awalnya. Kulitnya kuning langsat, alis cukup tebal dan rambutnya berjigrak. Mudah sekali untuk tahu jika tremor itu menghampirinya. Walaupun Wawan tetap berdiam tapi rupa pucat itu pertanda.

Melihat keadaan itu sebagai pengemban keputusan dari anggotanya. Wawan memilih untuk menurunkan tiap ransel. Sudah cukup lelah. Sesekali hidup binatang penghuni hutan ini muncul hanya ingin melihat atau ingin berkenalan. Seeokor jalak dengan suaranya menyeruak. Kami menyebutnya pemandu pada burung jalak karena akan mengikuti gerak dakian ini..
“2.820 meter dari permukaan laut” keluh Reni.

Tidak ada jawan dari perkataan itu. Kecuali setiap kunyahan dan memulai mencampuri mulut mereka dengan air. Pelega dahaga. Untuk mencapai ketinggian itu perlu waktu sekali membentuk tenda diatas nanti. Kembali mengangkat badannya yang layu tapi dia tidak mau berhenti.

Dari atas latar pundakan gunung. Seudah terlihat jelas kabut menghiasi kawasan di bawah sana. Angin meniupi deras. Sebentara lagi kaki-kaki kokoh itu berjalan perlahan. Sudah menuju puncak. Setelah beberapa jam istirahat dalam tenda darurat. Pengistirahat bersyarat bila tidak ada seorangpun disana berkata tentang kotoran. Tidak akan terjadi gangguan pada mereka. Benar mereka sudah terbiasa di alam raya, sehingga semua karya Ilahi sangat di hargai oleh mereka. Tidak ada perkataan. Kecuali menjadi warna dalam hidup laki-laki yang menjadi ketua mereka. Tanpa henti hanya mengasah kayu untuk tanda jalan mereka.

“Merdeka...”
“Merdeka...”

Leni sudah menyiapkan nesting. Menghamburkan semua perbekalan karena sudah mencapai puncak ini. Bedesir keharuan Wawan, keresahan karena tubuhnya sudah lunglai. Bilakah roboh juara pendakian itu bisa kemalangan atas namanya. Tapi, apakah itu harus dipertahankan hanya cuma untuk member tahu kejuaraannya.

Pertama kali menancapkan bendera itu. Telah berkibar. Tiba-tiba hipotermia itu dengan cepat menyerang. Membuat kaki Wawan tidak berdaya sedikit lagi, kakinya kemudia tersely di antara dua batu. Akhirnya dia tergelincir meluncur menuju jurang. Padahal ransel yang di bawanya mash berada di pundaknya.

Dari perkebunan teh dayeuh manggung. Seorang ibu menantikan kembalinya Wawan. Jatuh ke dalam jurang itu, jawaban orang-orang. Tidak ada kemungkinan untuk menemukannya. Laporan pertama kali di bawa Leni menuruni puncak dengan cepat untuk membawa berita pada penyelamat.

Pencarian tersebut berlangsung. Anjing pemburu mengendus bebauan milik Wawan. Badan yang di nantikan itu tepat berada di tandu. Keselamatannya terjaga jelas di bawah jurang terjal itu. Kebaikannya berbuah kemalangan akhir dari awal ketika dulu kenakalan itu tidak pernah menjadi permintaan ibunya. Sebuah kecelakaan yang akan mengingatkannya.
Tetapi sekarang dia mengalaminya. Sang juara masih terkujur rebah dalam pertolongan penyelamat. Mungkin tidak aka nada yang akan pernah tahu seperti apa teguran itu terjadi.


Nesting : tempat memasak tentara

Post a Comment

Previous Post Next Post