Cinta DARI CERITA CINTA | Cerpen

Siang yang begitu terik, awan terpancar begitu panas. Aku melihat seorang anak kecil yang lusuh membawa tas hitam tertulis wajar. Wajib belajar yang menjadi salah satu cara pemerintah menjadikan sekolah sebagai kewajiban. Anak perempuan itu terbakar panasnya matahari, dia seolah tidak menghawatirkan kulitnya akan legam karena tersengat panas. 


Keringatnya mulai turun jatuh dari balik rambutnya satu per satu. Aku terbayang sewaktu sekecil itu bagaimana aku harus menangisi ketika ibuku tidak juga datang. Begitulah aku semasa kecilku, aku hanya bisa tertawa dan iba yang menyengsarakan saat ini aku sudah mengurusi kehidupanku sendiri.
Aku beranjak dari tempatku terpana. Halte yang dibuat oleh perusahaan pembiayaan ini tempatku menantikan tumpangan umum. Bis menuju jalan kartini, tempat dimana aku harus menjalani harianku untuk mendapatkan bagian dari pekerjaan yang aku lakukan bagi Pak Ong pemilik pabrik giling kopi perkotaan ini.

Pak Ong sangat misterius dia hanya mencari-cari karyawan tertentu setiap hari tiada lain itu aku. Menanyakan kesiapan mesin, jumlah karyawan, jumlah kopi yang di kirim sampai kebersihan kamar mandi. Padahal aku bukan asistennya. Dia sudah mempunyai asisten yaitu anaknya sendiri yang tidak pernah muncul di pabrik tapi terus mendapatkan bagian dari pekerjaan yang dikerjaan orang lain.

Dalam benakku, beginikah orang yang dipercayakan atau inilah buruh yang tetap mengerjakan semua hal dan semua hal menjadi tidak sesuai dengan yang aku dapatkan. Aku harus tinggal di kamar kos berukuran kecil hanya tempat tidur dan sebuah galon air karena air putih menjadi kegemaranku.

Aku sudah berusia hampir tiga puluh tahun, kulitku sekarang bertambah legam karena serpih kopi yang berdebu sekali di pabrik. Orang tuaku, mereka menantikan seorang anak perantauan untuk menjadi lebih daripada mereka di kampung. Mereka hampir setiap hari menanyakan siapakah yang sekarang bersamaku. Mungkin mereka masih berpikir kalau aku masih menjalani hubungan dengan saudaraku, dia adalah kakak dari saudara yang menikahi saudara tua bapak di kampung. Aku tidak berbuat sesuatupun selain meninggalkan kampung tua ini.

Dia begitu memperhatikan kehidupanku, ketika masih berada di kampung. Terlebih karena aku juga masih buruh dari tuan kopi sampai disini. Waktuku menjadi miliknya dan aku tahu bahwa tidak ada suatu yang akan terjadi diantara kami. Aku berpesan singkat dari telepon genggam dengan goresan layarnya. “kita tetap akan bertemankan?”.

Aku memanggilnya Inra karena dia juga sudah membalikkan namaku menjadi Naba dari namaku Aban. Begitulah kami menamai masing-masing.
Setiap siang ketika hari telah siang dia membawakan sedikit makanan yang dibuatnya dalam bungkusan kertas dengan alas daun pisang. Banyak teman di pabrik mengenalnya. Karena, perkerjaan ini diperkenalkan olehnya.
Dia menanyakan pekerjaan ini dari Toto. Sahabatnya ‘si jambrong’ sudah lama bekerja di pabrik Koko dan menjadi asisten kedua Ngko. Kedekatannya pada teman-teman sudah terjalin lama di pabrik ini. Dulunya dia pernah menjadi kasir timbang di pabrik. Sekarang dia sudah bekerja mengurusi perusahaan kopi milik ayahnya.
Dia orang supel bergaul dari setiap tempat, terkadang dia mengisi acara pernikahan atau acara-acara desa sebagai pemandu acara. Sikap riang itu selalu membuatku tertegun karena aku tidak terlalu banyak ingin tahu tentang kehidupan orang lain. Hari-hariku selalu bersamanya, kami biasa melewati waktu sore berjalan di pematang sawah. Berjalan menelusuri sawah sampai ke pondokan untuk menjaga kerbau yang di sapih oleh pamannya. Bukan paman kandung tapi orang tua itu sudah merawatnya dari kecil.

Hamparan luas persawahan sudah membentang tanaman padi hijau. Melihat dedaunan melambai bersama gerakan angin kami duduk menikmati waktu bersama-sama. Ketika aku kecil suasana ini sangat menyenangkan. Aku melihatnya tersenyum memanggil Naba “Naba-naba mirip dengan orangan sawah ya?”. Dia sangat pencerita terkadang aku mendengarkan semua ceritanya tanpa tahu kalau waktu sudah beranjak sore.

Pencerita begitu tertarik dengan berbagai cerita kehidupan orang. Sampai ketika matahari sudah di ufuk barat aku menantikan cerita tentangnya. Aku hanya wanita yang menarik sebagian hidupku di atas perasaan berkelana jauh sampai pematang sawah luas.

Sekali lagi aku tidak akan pernah memaafkannya karena dia tidak pernah ada pada dirinya. Aku sudah menunggu tapi barangkali kami harus mengakhiri pertemuan ini dengan berbagai perasaan buatku darirnya.

Hariku menjadi semakin berkeringat karena pabrik ini terus berproduksi. Mungkinkah Koko dengan kekayaan ini mempunyai banyak hutang karena pekerjaan kami bertambah banyak. Hatiku masih berpeluh. Seperti Waris seorang tua sudah dipekerjakan Koko sampai 15 tahun tidak pernah berubah badannya masih terbalut tulang. Kerutan di tangan dan kakinya memperlihatkan badannya yang letih dan tidak berdaya. Tetapi dia tidak pernah mengeluh tetap tertawa pada Ngko.

Keluhan itu tidak disikapi oleh Irna, dia hanya tersenyum dan bilang mungkin suatu saat kamu seperti Ngko. Aku malah tertegun heran melihat senyum membuat hatiku terasa lebih manis. Akupun menyambut senyuman itu. Irna pergi karena tugasnya juga masih banyak menyelesaikan administrasi keuangan karyawan karena hari ini waktunya gajian.

Aku membantunya. Supaya setiap karyawan bisa memakan masakan enak malam nanti. Yulia teman kami buruh pabrik ini tersenyum dan meminta kami untuk bersama-sama malam nanti dirumahnya. Ada syukuran anaknya yang pertama khitanan.

Kami pergi bersama menggunakan kendaraan pabrik. Mobil bak usang ini biasa masuk ke kebun kopi Ngko. Lumpur bersimbah di setiap sudut mobil ini. Sudah ramai orang-orang lebih banyak tetangga Yulia. Betapa senanngya Yulia melihat kami. Begitu juga dengan suami dan orang tua Yulia, melihat kami seperti sepasang kekasih yang belum tersatukan.

“Kapan kalian menikah, kalau sudah cocok tidak perlu menunggu?” Tanya orang tua Yulia.
Ramah terlihat sekali dari aura muka Irna. Kulitnya masih halus, sedikit saja perasaan menyentuhnya cepat memedamkan wajahnya. Tertunduk, tidak bisa berkata.

“Kami Cuma berteman pak.”

Jawaban begitu cepat itu seperti kilat. Jatuh di antara hujan deras bersinar kilat. Irna tidak bisa berbicara sedikit saja, dia memalinggkan mukanya. Ingin sekali dia beranjak hanya untuk mengatakan dia ingin pergi ke toilet tapi sepertinya kedewasaannya lebih memperlihatkan gelagat penerimaan.

Aku tidak akan pernah mencari cinta, sudah terjadi bukan menjadi cerita cinta. Mungkin kesungguhan adalah arti dari penantianku. Bila aku masih melihat hari berganti, dari matahari terik dinginnya malam, sampai kesejukan suasana subuh. Apa artinya cinta ini adakah penggantinya. Atau tidak akan tergantikan sebagai coretan indah bersana Arni. Kami tidak pernah saling memberi kabar lagi, jarak ini adalah cerita kami masing-masing.

Bila suatu saat ternyata Arni sudah melayani kepada siapa?. Apakah aku akan melihatnya, sementara sekarang ini Irna semakin tahu keadaanku. Yulia memendam tumpukan keadaanku bersama Arni. Tidak ada satu cara terbaik untuk melakoni drama ini. Aku masuk dalam sebuah penokohan tanpa berkarakter. Aku hanya bisa mengatakan jika aku benar mencintai Arni. Apakah cerita itu kembali kepada kami. Aku hanya ingin di dengar tidak ada lagi kesempatan untukku.

Dua wajah berbeda ini saling menghiasi. Perjalanan ketika aku melihat ke belakang terasa begitu jauh. Tapi ketika aku melihat ke depan terasa sangat dekat sekali. Antara belakang dan depan dua sisi berlawanan.

Keduanya melelahkan, terkadang menyenangkan. Sampai aku mendapatkan dua hadiah disaat aku harus menambah tahun lahirku. Bukan sebuah kebetulan keduanya adalah dari mereka. Satu aku dapatkan langsung dari Irna, sedangkan Arni hanya bisa menyampaikannya lewat pos. Irna melakukan kenekatan, aku tidak mengerti keberanian apa seperti itu. Bukankah itu milikku?. Tidak sepantasnya dia berkata cinta di depan semua orang kepadaku.

Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku pulang ingin sekali melihat amplop dengan untaian kertas keras dari Arni. Karena sedikit terburu-buru aku tidak dapat mengantarkan Irna pulang seperti biasanya. Aku langsung meninggalkan Irna dan tidak berpesan sedikit saja. Kepada siapa aku bertemu terakhir di sore itu. Inilah dua sisi lembaran kertas putih. Di satu sisi masih putih bersih di sisi lain?

Undangan pernikahan. Setelah sampai, ditempaku biasa menghabiskan malam. Hening menjadi pilihanku, aku langsung menutup kamar.

Redup sudah cahaya dari sinarnya. Sudah lama sentuhan lembut nama yang terukir dalam cetakan. Nama keduanya tercetak rapi, apabila tidak ada halangan akan dilangsungkan akad tanggal 19 ini. Oding dan Arni. Sebuah nama sarapan dan pengangan malam benturan hati. Tertegun, tidak sadarkan diri akankah kejadian ini benar. Kamar itu menjadi sangat hening tidak berpenghuni sedikit saja tidak ada seekor nyamuk yang berani mendekat dari kemarahannya.

Ketika aku tidak menyadari jika aku masih mempunyai nyawa ini. Gerak getaran bergemuruh karena suara lalu lalang motor disekitar pemukiman padat ini. Aku hampir merelakan kekecewaan ini. Pertama kali aku sudah pernah melepaskan ikatan ini, terputus. Bilakah harus ada campur tangan orang tua bagaimana sebuah nasihat langsung menjadi keputusan. Bilakah aku akan menghancurkan hidup Arni?. Sekarang sudah ada perencanaan di luar dugaanku.

Aku tersenyum tipis, membalikan undangan kupegang. Arni terlihat bahagia dengan wajah barunya. Mungkin dia sudah lebih berpengetahuan di antara keanggotaan desa, dengan seragam bercorak desa wajahnya kotak kulitnya nyaris sudah bersih dari bekas goresan alergi kulitnya. Undangan istimewa bagiku, inilah kesepakatan yang terlantar. Di buang di ujung rel terpisah karena dua gerbong berjalan masing-masing. Sedangkan saat ini gerbong itu sudah menerima penumpang. Tapi aku mengemudikan gerbong yang salah karena aku tidak pernah menerima penumpang.

Aku menyadari jika penumpang itu sudah membeli tiket, atau karena dia tidak pernah menunjukkan identitasnya. Jika aku tidak bisa menerimanya sebagai penumpanggku. Karena, begitu besar ketakukanku akan sebuah penantian, setelah aku melihat jawabannya. Tidak seperti ketika aku mengharapkan nama kami bersatu. Harapan palsu.

Aku melompat dari keterpurukanku, aku masih melihat waktu terbaik kami. Aku mengingat Irna, sudah mengisi kekosongan penumpang keretaku ini. Sepatu lusuh berpoles debu kopi, beranjak kembali. Lekas cepat sekali, aku berlari sekuat tenaga, aku ingat bila aku tidak menemukannya mungkin aku menjadi manusia terbodoh di dunia menantikan bayangan. Bayangan berjalan di bawah garis sinar selalu mengitari si pemilik diri tidak pernah mau melepaskan diri karena keduanya satu dari garis cahaya itu.

Begitu cepat kaki-kaki itu melangkah, tidak ada lagi penghalang dari tiap langkahku. Bilakah aku harus melihat seorang ibu mengalami kecelakaan, atau sebuah mobil mogok dijalan. Aku belum bisa menjadi bagian mereka karena inilah bagianku yang terabaikan. Bila aku terlambat aku tahu kegagalan itu seperti menelan kotoran ayam yang masih hangat begitu menjijikan.

“Irna.” Suara parau tidak ada sentuhan air dikerongkongannya.

Aku menatapnya tajam, tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Tidak seperti biasa, Irna sudah melihat keraguan tidak ada lagi kemesraan ketika setitik air mengalir dari dahiku yang datar. Garis batas kepalaku dengan guratan urat terlihat jelas. Aku terengah-engah dan tidak berdaya untuk berkata diatas penelantaran sebuah cinta dari cerita cinta.

Senyuman dingin, tidak ada lagi kehangatan seperti semua sama. Irna masih menunggu untuk menaiki bus terakhir sampai Rawamangun tempat orang tuannya.

“Aku tidak pernah mengerti harus berbuat apa?”.

 “Beri aku waktu untuk berpikir, busku sudah datang.”

Karena pengertian itu menjadi kosong pergi meninggalkanku, aku masih melihat kekecewaannya. Aku tidak pernah berhenti dan terus mengejar bus itu tapi aku tidak sanggup bersaing dengan roda besarnya.

Keesokan harinya. Pergi ke daerah Rawamangun untuk memasarkan kopi Lubuk yang di racik keluarga Ngko. Aku tidak melihat Irna, ketika aku menanyakan keberadaannya tidak ada yang mengetahui karena Irna sudah berpesan dari kemarin sore mungkin dia tidak masuk. Apakah ini semua kegagalanku untuk semuanya. Tidak kesana tapi tidak juga kesini, tidak ada jalan yang bisa aku tempuh.

Perkerjaanku tidak bisa dihentikan, aku membutuhkannya. Aku pergi dengan Pak Kodri, sopir yang selalu setia bersama Ngko untuk berjalan bersama karena kami semua bersama juga memasarkan kopi ini. Pembagian kami tetaplah berbeda. Setelah sampai di pasar Rawamangun, kali ini perhatianku hanya bisa memastikan jika aku mengerjakan semua seperti biasa.

Mungkin tidak ada lagi kesempatan, karena setiap hari hanya sekali matahari bersinar dan terbenam kembali untuk menidurkan setiap orang. Wanita itu Irna, rambutnya rapih, dengan dandanan yang aku sukai menggunakan dress ungu, sepatu teplek. Cantik sekali.

“Aku mengerti kamu tetaplah wanita baik karena perbuatanmu.” Ketika aku tahu kamu memberikan alat bantu tongkat buat ibu. Aku sangat senang. Kedua orang tuaku berpikir kalau itu semua dari Irna?. Tapi hadiah itu masih dari Arni. Kebaikan Arni tidak pernah tercium oleh mereka.

Aku ingin meminta maaf aku merasa senang berada didekatmu. Tapi aku salah memilih menjalani keterikatan. Salah. Aku mendekat kepada Irna tidak membiarkannya untuk mengambil bagianku. Menjadi cerita cinta terbelenggu oleh suatu nama mereka menyebutnya kesungguhan.

Retas terdiam tidak letih membungkam. Tidak ada siapapun tahu keberadaan Irna. Atau mereka terkunci karena sebuah keputusan. Melanjutkan undangan baru untuk penduduk pabrik ini. Inilah penglihatanku hanya menjadi cerita cinta. Turut mengundang Sahwan dan Irna. Hambar terasa pahit dari warna hitam kopi bergulir dari antara biji-biji kopi turun serentak kedalam pengilingan. Mengehenduskan hanya debunya saja.

Baca juga : natinedJs/Kumpulan-Cerpen

Post a Comment

Previous Post Next Post