Kredit macet atau bermasalah
merupakan penghambat pertumbuhan kredit perbankan. Walaupun dalam kondisi macet
tersebut pokok hutang (O/S) tidak mengalami penurunan dan akan tetap menjadi
pembagi dari keseluruhan pokok hutang tersebut. Berdasarkan data Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) rasio kredit yang berpotensi macet sampai macet atau Non
Performing Loan (NPL) gross perbankan nasional hingga bulan Maret 2014 mencapai
2 persen. Untuk kondisi macet di posisi di atas 90 hari berada pada rasio 1,01
persen.
Rasio NPL tersebut dinilai masih cukup
aman dalam penyaluran kredit.. Ambang batasnya ada pada rasio di atas 5 %
misalnya dalam suatu unit perbankan total pokok hutang Rp 10 milyar ada potensi
sekitar Rp 500 juta dalam kondisi NPL. Menurut Endang Kusulanjari, Deputi
Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan II OJK dengan threshold 5 persen dalam
kondisi NPL nasional kondisinya masih baik, akan tetapi perlu dilakukannya antisipasi
awal dari keadaan tersebut agar beberapa konstituen penyebab pemburukan kredit
harus dapat diselesaikan.
Terdapat perbedaan antara setiap
bank dalam melakukan kegiatan usahanya. Pembagiannya dibagi dengan sebutan Bank
Umum Kegiatan Usaha (BUKU). Berdasarkan modal inti usaha bank tersebut terbagi
menjadi empat yaitu;
1. BUKU I dengan modal inti antara
Rp 100 miliar sampai di bawah Rp 1 triliun,
2. BUKU II dengan modal inti Rp 1
triliun sampai Rp 5 triliun,
3. BUKU III dengan modal inti Rp 5
triliun hingga Rp 30 triliun, dan
4. BUKU IV yang memiliki modal
mulai inti sebesar Rp 30 triliun.
Masing-masing dalam kegiatan usahanya tersebut akan berkontribusi dalam potensi NPL. Tahun 2014 masing-masing BUKU memberikan kontribusi BUKU I NPL grossnya 5,09 persen, BUKU II mencapai 0,99 persen, BUKU III mencapai 1,28 persen, BUKU IV mencapai 1,35 persen.
Berdasarkan data OJK tahun 2014 NPL
Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mencapai Rp 23,55 triliun atau
19,47 persen dari porsi UMKM terhadap total penyaluran kredit, yakni sebesar Rp
643 triliun. Penulis ingin memperlihatkan dampak rasio kredit macet ini akan
berpotensi sampai bank mengalami kebangkrutan. Contohnya adalah Bank Pundi eks
Bank Eksekutif, di tahun 2016 mengalami kredit macet yang cukup besar dengan
NPL nasional sebesar berada pada BUKU II mengalami kebangkrutan sehingga harus
di jual pada Bank Banten yang merupakan BPD untuk provinsi Banten.
Baca juga : Kriteria Usaha yang Layak dibiayai
Baca juga : Kriteria Usaha yang Layak dibiayai
Dalam tulisan sebelumnya penulis
memaparkan tentang perhitungan pengembalian kredit beberapa bank menyebutnya
dengan Repayment Rate (RR), dan atau Porfofolio At Risk (PAR). Rasio
berdasarkan O/S terbayar dan atau O/S tidak terbayar. RR merupakan perbandingan
antara total O/S kredit bayar dengan total O/S keseluruhan dalam unit bank
tersebut. Persentase RR merupakan total tetapi bila di gali berdasarkan
tingkatan kolektibilitas akan memperlihatkan perbedaan dengan perhitungan yang
sama kita dapat mengetahui persentase setiap kolektibilitas.
Pada prinsipnya NPL dapat terjadi
bila bank menyalurkan kredit dengan cara yang tidak hati-hati. Bank juga harus
dapat melakukan prediksi untuk penyaluran kredit apakah kredit tersebut akan
bermasalah atau tidak kedepannya. Di lihat dari sisi kebijakan kredit tentunya
bank sudah melakukan berbagai survei untuk mengantisipasinya. Karena, kebijakan
bank tersebut merupakan acuan dasar dalam penyaluran kredit. Bila acuan
tersebut dilanggar sudah tentu berpotensi menyebabkan kerugian.
Potensi kredit bermasalah banyak
disebabkan oleh pelaksanaan kegiatan pemasaran yang tidak tepat sasaran bank
mikro umumnya memasarkan produk-produk modal kerja untuk perkembangan usaha
debitur dengan inventori di atas 10 juta rupiah sedangkan kebanyakan pemasaran tidak
melakukan pendekatan itu. Target pemasaran menjadi faktor penyebab karena di
satu sisi pemasaran sebagai ujung tombak usaha bank akan melakukan kegiatan pemasaran
yang tidak sesuai dengan wilayah kerjanya. Analisa kelayakan tidak sesuai
sehingga pendapatan atau Disposible Income hanya menyesuaikan dengan ambang
batas dalam kebijakan bank. Penyebab lainnya dari kegiatan usaha bank mikro ada
pada kegiatan operasional disappointment
terhadap attitude penyelenggaraan operasional usaha. Bila user merasakan
kekecewaan atas tindakan dalam pelayanan operasional dapat menjadi potensi juga
dalam usaha bank.
Perlu dilakukan usaha maksimal
dalam pelayanan perbankan karena target usaha bila menjadi tolok ukur dapat
menyebabkan kerugian. Untuk itu bank perlu menyikapi agar target keuntungan
akan lebih maksimal dalam penyelenggaraan bank mikro. Dalam unit usahanya
dengan melihat target keuntungan seluruh biaya kegiatan usaha sudah terbayarkan
Net Profit After Tax (NPAT) masih dapat terlihat dalam neraca laba/rugi dalam
kondisi pertumbuhan positif.
Tindakan positif perbankan akan
memberikan kesehatan pada bank tersebut. Karena keberlangsungan usaha bank berkaitan
erat dengan kerja invidu banker dalam bank tersebut. Sehingga diperlukan
idelisme bersama untuk mengembangkan usaha tersebut dalam jangka waktu panjang.
Baja juga : 5 Penyebab Kebangkrutan Usaha
Baja juga : 5 Penyebab Kebangkrutan Usaha
Tags
KlasUmum