Rumah Kirene

Adalah aku yang bercerita, hanya untuk menjatuhkan batang korek api dari atas meja supaya aku dapat menyingkap bekas makan orang dari gang sebelah itu dengan piringnya tadi. Mereka hendak makan kesini, ujungnya bukan aku yang menerima bagian. Telah hampir dua terik dan tiga sinar bintang di malam hari selalu saja aku getir karena cekam massa atas berkah yang kuperoleh dari mulai matahari tadi pagi membangun sinarnya. Berkah itu bukan dari kemarin ketika aku dibesarkan oleh seorang jendral, atau apapun seperti para jendral. Tapi, sekarang. Saat ini kumulai dengan kotoran dari atas mejaku, kulap bersih agar mereka yang lain datang bersama lelah mereka tenang menikmati penganan dari dapurku.


     Desakkan ini hampir sama saat Apim ditarik-tarik pemuda dengan baju yang robek, rambut seperti sapu dan wajahnya kotor. Mungkin mereka itu juga sama dengan pemuda gila yang meminta makan kemudian lari entah kemana. Dari pekerjaan-pekerjaan yang telah kulakukan, ruang dan waktu yang kuperoleh sangat sempit setelah lima sampai dua puluh tahun hanya mendiang dari kelahiranku yang menitipkan pesan, “Untuk mencari sesuatu yang berguna harus dari apapun itu yang rupanya lurus”. Berikutnya aku bertumpu pada saudaraku yang lain, kenyataannya aku hanya diberi warisan dari gang dekat bandara udara sambil melambaikan tangan meninggalkan seberkas langkah dari kekosongngan arus batang hari menuju Jiran untuk dipekerjakan. 

    Tinggallah batang hari, tanpa arus mengalirkan sesuatu dibawahnya. Rumahku menjadi berbisik, angin yang terasa tiap sore dari atas sini atau kecoa, kucing dan ayam tidak memberikan nyanyian menenangkan lagi, kecemasan itu karena aku tidak bisa bekerja untuk apapun itu kecuali untuk aku. Karena, semua telah menjadi keruh kumulai mencuci piring kotor dekat sumur di belakang rumah, menggosoknya bersih tanpa kuatir ada yang menggunakannya lagi. 

Besok aku akan menjadi tukang cuci dikedai rumah makan dekat perapatan pasar minggu. Lamanya dua tahun sudah Bu Engkus tidak menjadikanku pemain dibelakang layar lagi katanya, “Ren, kau lama kerja denganku, sekarang kau kasih-kasih tamu makanan yang dipesan, ya!”. “Baiklah Bu, Makasih Bu ya”. Masih bersandar dari Bu Engkus, selama itu pula aku mulai berjualan penganan diatas pundak, gorengan hasil buatakanku. Jepit alas sebagai kaki, dari Gang Perwira sampai Arulhama di ujung dua rumah jalan buntu karena pagar hidup kulewati. Jalan itu kutempuh selama dua jam agar jam 8 tiap pagi Bu Engkus sudah tahu piring kotor telah dicuci. 

     Sebenarnya pagi itu juga terjadi pada pagi ini. Seseorang meneriaki, “ kamu ini, aku berhutang supaya jualanmu ada yang beli, ngerti!”. Jajanan itu banyak dibeli setiap hari keranjang hanya tinggal kertas minyaknya, hanya kucatatkan di kertas apa saja sarapan sebagian pelanggan pagi itu.
“Bu Engkus kulihat Kirene sudah jualan gorengan dari rumah ke rumah?” kata Mina pelayan di Kedai Bu Engkus juga. “Ah, serius kau?”
“Ya, aku juga belum tahu bu”.

     Bu Engkus tetap membiarkan aku untuk bekerja dengannya, entah mengapa kelakuannya makin aneh hari-harinya hanya menganggap aku mengambil bagiannya. Lambat berjalan aku dapat membuat kedai kecil untuk penganan tukang becak dekat rumah. Bu Engkus menghela napasnya sambil menggelengkan kepalanya berkata, “Kenapa tidak sekalian kau pindahkan warungku ini ke tempat kau”. Wanita itu mirip dengan keberingasan macan dan bertolak pinggang. Aku tidak menghitung berapa kali aku mendapat kata-kata itu tapi berapa kali akau menjadi pencuri dimatanya. Lepas hari sore itu aku tidak mendapatkan bagianku untuk pekerjaan yang kuselesaikan, aku pergi mempersiapkan warung untuk berjualan besok satu-satunya pekerjaan yang ada.

     Rumah berseberangan dengan Gang Diponegoro tempat pelanggganku mencari sewa mereka, dindingnya biru bertuliskan ‘MASAKAN KIRENE’ dan rindang tepat dibawah pohon kenari. Triplek yang melapisinya tidak cukup kuat menahan modal yang telah kuperoleh. Di rumah ini ada baki besar terdapat mangkuk dan piring tempat menampung masakan hasil buatanku sengaja aku tidak menatanya seperti yang pernah kulihat disana, karena rumah ini bukan Masakan Padang tapi masakanku.

     Ada tiga anak dari Pak Khodir, Pak Manan dan Pak Dullah yang mau bekerja membantuku. Mereka bekerja semampu dayanya maklumlah anak sekolah menengah. Sebelum siang Nisa anak Pak Manan bekerja mencuci piring, kemudian Apim dan Ipung setelah keluar dari sekolahan. Hasilnya kami kumpulkan tiap hari tiap minggunya pembagian hasil sesuai dengan apa yang mereka harus terima. Aku sudah memutuskan sebelumnya bahwa usaha ini adalah bagian dari mereka juga. Apapun itu Nisa, Apim dan Ipung tidak akan pernah tahu dan tidak ada rekaman keputusan ini.

     Hampir tengah tahun dari tahun ketiga ini, aku menguras waktu dirumah bahkan aku mulai tidak pernah membersihkan rumah yang dulu pernah kutempati. Rumah yang dikebumikan, rumah yang telah ditinggalkan mereka untuk siapa aku tidak tahu yang aku tahu bahwa rumah itu tidak berpenghuni. Tahun ini pula genap usiaku 29 tahun aku sangat mengharapkan agar rumah dapat berkembang lebih baik lagi. Banyak orang merasakan masakan Kirene.

     Saudaraku yang telah lama merantau tidak pernah pulang lagi. Telah lama disana aku hanya bisa mendoakan agar pekerjaan yang mereka lakukan baik. Banyak berita tentang keberadaan mereka di negara sana sebagai penduduk buangan sebagai buruh rumah tangga. Aku mendengarnya dari televisi di rumah, pendengarran itu sangat menakutkan siapa saja akan dipulangkan ketempat asalnya karena tidak memiliki identitas sebagai pekerja. Tangisan ini untuk mengurangi rasa kasihan yang dalam jika memang semua yang dulu hidup sekarang telah tiada lagi bersamaku.

     Tiap pelanggan yang kutemui memang berbeda ada yang serius sekali untuk makan dan ada yang bercanda menghibur dan terkadang sangat lucu. Malam ini aku mulai menangis lagi karena aku telah tertawa kencang sekali siang tadi tanpa tahu suara itu menjadi kecemasan orang lain atasku. Setiap kali aku dapat tertawa lepas tiap kali pula aku akan menangis entah kenapa. Sedikit lagi aku ingin menceritakan kelegaan tapi kelegaan ini untuk menghela napas. 

“Bu ikan bandengnya dibungkus ya?’ minta Rosidah. Ikan bandeng masuk dalam plastik bungkus, sedikit kuah ditambahkan agar menambah rasa lauk itu. 

“Udah bu ya. Oh iya bu, mama bilang ikannya hutang dulu bu ya nanti mama yang bayar”. “Iya dah ini!”. Utusan yang memalukan pikirku. Tidak seharusnya orang tua melibatkan keinginan dari kemalasan karena akan menjadikan semua ini kebiasaan atau memang telah terbiasa. Tidak pernah sekali saja aku menumpahkan perkataan ini, setelah aku mendapat pekerjaan lakuku agar tidak banyak berbicara lagi untuk apapun itu. Pekerjaan yang kuselesaikan tidak dikerjakan oleh mulut melainkan tangan dan kakiku.

     Seorang nenek datang menghampiri. Mukanya pucat mengenakan kebaya biru pakaiannya mungkin seusia dengan nenek tua dihadapanku ini. Aku terperanga, nenek itu mengusap wajahku dengan tangannya saat bekas makanannya kusingkap. Nenek itu tidak mampu membayar makanannya, kemudian dia berbicara pelan “aku lari dari keluargaku karena aku tidak pernah bisa melakukan apa-apa lagi. Aku hanya menghabiskan uang mereka untuk berobat. Umurku tidak lama lagi”. Setelah itu aku tertunduk tidak tahu entah kenapa badanku terasa berat, aku hanya melihat nenek itu berjalan pelan keluar dari rumah. Keheranan itu bukan karena masih ada juga orang yang ingin menganggap resahnya itu memperburuk orang lain. Nenek itu pergi dan telah pergi meninggalkan usapan tangannya diwajahku dua hari sesudahnya aku mendengar nenek itu telah meninggalkan hidupnya dia terkujur di jalan pelataran dekat lampu trotoar.

     Perubahan telah banyak terjadi. Baki yang besar yang dulunya tidak tertutup apapun sehingga selain manusia banyak lalat juga makan dari sana. Meja-meja tempat makan tidak lagi rapat batas ruang manjadi meja utuh dengan enam kursi tiap meja yang ada. Dan, lagi ada beberapa orang yang duduk dikeranda dibawah pohon untuk bersantai sebelum atau sesudah makan.

     Gerai lembut suara hati senang atau gembira tidak terluapkan. Ibu-ibu disekitar hanya menutup keinginan sambil nada-nada dari parau mereka untuk mengembara dari kesalahanku. Sebagaimana aku adanya tidak seperti itu aku dimata mereka. Pelan sekali alunan yang terbawa angin setelah lama aku menjadi seperti ini. Juga jiwa ini tidak mau angkuh aku tahu apapun akan terjadi mungkin sekarang aku akan mengumpulkan tiga keping emas dulu untuk membeli tanah seukuran tubuhku. Sampai sekarang pengemas zaman belum ada yang membuat penyumpal pendengaran. Aku menginginkannya karena panas sekali bahasa dari atas atau dari bawah sana. Walaupun tersaring tapi banyak juga yang mengenakan pakaian yang sangat mencolok seperti yang kudengar.

     Sepintas lalu aku tidak berdaya, aku bahkan hanya mempunyai rumah karena telah ditinggalkan siapapun disana. Sekarang aku juga tidak berdaya karena aku terlahir karena kekuatiran orang lain. Sedangkan tangisku siapa yang tahu. Benar adanya, adanya tidak ada disini. Untuk bertahan memang sangat sulit aku diantara wajah yang sedang senang tapi mereka durja. Bergurau untuk menjatuhkan dari belakang aku hadapi semua itu karena aku bukan bekerja karena kesalahan.

     Rumah Kirene tidak mencari lagi dimana berada, tetapi sekarang telah ada sebuah rumah baru yang aku tempati dan masakakanku. Tidak jauh dari kaki lima pasar raya Cilundu tepat bersebrangan dengan toko emas milik Ko Lukito. Ketika aku bangun aku sudah menghirup udara yang segar lagi tidak ada yang memberiku kesakitan pergi diterpaan sinar sore hanya bayangan dibantalan jalan itu yang melambaikan tangan. Selamat tinggal semu kenangan tinggal sekarang rumah kirene.

Baca juga : Kumpulan Cerpen natinedJs

Post a Comment

Previous Post Next Post