Cendana di Ubud | Cerpen

Lelah ini sudah berkepanjangan. Untuk memilih belajar seperti harapan mereka. Dia sudah tidak tahu berada di hutan bebas seperti burung cikrak daun atau pelataran penjara pulau buru. Bapak Girsang masih terus memintanya untuk duduk di bangku Universitas Indonesia. Bulan muncul dari perluasan sinar matahari. Dia mengakui jika sinarnya masih diambil dari peruntungan bapaknya. Tahun 1987 dia bisa duduk ditempat sinar itu meminta. Sinar yang bukan dirinya tetapi bapaknya.


Dia bisa mendapatkan tempat di kampus itu. Begitu bangganya bapak melihat anaknya menggunakan jas berwarna kuning, sudah berserakan segerombolan orang yang akan mendaftarkan diri. Bapak meninggalkannya di depok karena semua keperluannya sudah ada.
Berkisah dari tahun itu, tepatnya setelah tiga tahun dia berada di depok. Kebanggaan itu terus bersinar ketika acara keluarga bahkan dalam keadaan tidak bisa berbicara pun bapak berkicau tentang jas kuning yang dikenakannya. Wajahnya selalu bergeliat keserian ketika kepala-kepala menanyakan keberadaan Maripin.

Tapi sebenarnya layar lain, tempatnya saat ini. Bumi meredamnya tidak bisa berkata tentang berbagai kebohongan kejadian harinya. Hari bolong, mengelana waktu dengan tentara barisan belakang, dia sudah menggunakan tato untuk mewarnai kelegaman kakinya. Padahal semua kegiatannya itu bukanlah seperti keadaan di Medan di rumah bapak. Keadaan bunga jepun bersemi kemilau kuning dilapisi putih terlukis rapi bilakah bapak mengatakan Maripin.

Terbuang, angkanya sudah tidak terselamatkan. Dia pecah berserakan melihat wilayah merahnya pembuangan. Sampah terbuang karena tidak bisa terpakai lagi. Angka itu sudah akhir dari bunga-bunga bali nan indah itu. Pengembaraan warnanya pupus menjadi hitam, dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Barisan belakang sejawatnya datang berhamburan di kamar kosnya. Tidak dapat mengatakan banyak kata mereka menyeduhkan botol mix max dengan sedikit es.

Keteduhan itu sudah menenangkan ancaman penantian dan kekecewaan mendalam. Dia membayangkan wajah bapak, bila nanti dia akan memberitahukan telah putus persekolahan. Pesannya dulu sebelum meninggalkannya di Depok, “cepat selesaikan kuliahmu ya nak, nanti kau jadi pengacara ya ingat mamak mu!”.

Tinggal puing-puing, sudah terbakar hangus rumah megah itu. Selama ini bangunan itu begitu apik tersimak. Setelah beberapa hari dia tidak bisa berkuliah lagi dia memutuskan untuk berangkat ke bali. Sekedar berendam di beningnya air pantai atau berteriak sekuat tenaga agar semua orang tidak pernah tahu jika dia sudah sirna. Tidak seorangpun tahu kepergiannya.

Di Ubud Bali, butiran pasir beraduk dengan aliran air. Duduklah dia sebagai Maripin mengamati tawa setiap wajah disana. Dia tidak mampu beranjak dari sengit sinar matahari, kelegamannya membekas pada pinggiran singletnya. Karam pecah tenggelam luluh lantah tidak terkatakan, rapuh berangus. Tamparan dekat datang bertanya begitu bahagianya kah mereka dibalik setiap tawa itu?.

Bapak pernah mengatakan sebelum besok sekarang waktu yang penting untuk bisa sampai melihat sinar pagi. Suasana di Medan mengingatkannya geliat untuk memiliki mimpi sang bapak. Tenggelam dalam segala peringatan menghela merasuk jiwanya. Sikap bapak terlalu keras mendidik dengan ambisi seperti butir peluru harus menembus jantung sasaran tembaknya.

Matahari mengalah terlihat lebih tenang dan dingin. Mengalah untuk Maripin supaya tidak terbakar oleh sengatannya. Seketika suasana tedur itu dia sudah bisa mengangkat sebagian badannya. Pasir-pasir berserakan jatuh dihempaskannya. Dia mengambil papan selancar.

Rambut gondrong tidak teratur diikatkannya, mukanya yang bulat menggigit karet untuk pengikat rambutnya. Tanpa disadari di saat bersamaan, juga berdiri seorang jangkung. Si bule melempar senyum tipis. Bertanya sedikit terbata “bisa?”, Giovani meredahkan pandangannya karena ukuran tinggi mereka yang berbeda hampir 15 cm. Papan seluncur sewaan itu, sedang bersaksi tentang keduanya dalam suasana ketakutan masing-masing karena itu kali pertama mereka akan menaiki papan itu.

“Tidak usaha bermain selancar”. Aksen italia muncul untuk mengingatkan dia. Maripin hanya terheran. Melihat si bule, dia menyebutkan Giovani saat harus menjabat tangan, pria italia yang sedang menjalin perluasan jual barang antik sebagai tanda cindera mata dari bali. Papan seluncur ditancapkan lagi kali ini dia hanya mengikuti si asing. Duduk bersama disamping papan seluncur tak terpakai itu. Keadaan itu ternyata sudah dekat dengan Giovani sudah berada di Bali pertama menunggu ajalnya dihentak ombak keras.
Beberapa saat si bule melepas diri. Tidak lagi berkata, karena di ujung telepon itu menyiratkan kejadian. Tidak mengerti seperti apa, bergusar dia berdiri mencari periringan menuju jalan si bule. Bertanya lagi bilakah teman luar ini dalam keadaan masalah. Jiwa yang terbentuk cepat masuk liang hati terdalamnya. Sudah menjadi perawakannya cepat membantu siapaun. Tapi, tidak untuk dirinya sendiri yang telah memenjarakannya dalam kemusnahan penantian bapak di medan.

Maripin melihat dari balik etalase kaca padmasana. Tempat berbagai ukiran berdiri diantara pedagang pasar seni sukowati. Melihat aksi keseriusan sang bule menghadapi pengunjung wisata sekolah dari Bogor. Entah, seperti apa pembicaraan itu tapi kelihatan tidak saling mengerti.

Tanpa keseganan bagian pertama seorang manusia beraksi bertindak secepat ular di rerumputan. Mengejar akan bisa mendapatkan babak baru kehidupan nyata. Langkahnya menyeruak menuju si bule. Kakinya bergerak cepat namun ketidakberanian muncul bergantian. Ingin menguatkan langkahnya lagi “Giovani!”  panggilnya. Pemanggilan dengan nada samar itu berhasil menghentikan laju jantungnya.

“Saya bisa membantu bahasamu?”. Dia bertanya pada si bule untuk mempekerjakannya sebagai pramuwisata. Bila tidak segera dia tidak akan bisa makan lagi. Sedikit berkelit karena ibanya menjelma. Dia berkata bila “nanti bila saya tidak makan disini, mungkin saya bisa merampok bangsamu?”.

Kata-kata itu menyeruak bising ditelinganya. Cepat sekali dia menghilang beberapa saat. Pergi meninggalkan Maripin, apakah dia menggunakan kata-kata yang salah. Untuk meminta pekerjaan tetapi juga mengancam. Si bule tidak mungkin keluar lagi dari ruangannya untuk membawa sebilah pisau karena kekesalannya dengan permintaan Maripin. Sepuluh menit berlalu sosok jangkung itu muncul lagi di penglihatannya. Tidak tampak sebilah pisaupun di tangannya.

Sedikit membelokkan muka, “take your shift tomorrow!” dia mengatakan Maripin untuk bekerja besok. Keinginan untuk melepaskan belenggu ketidakmampuan atau ketidakberdayaan. Karena dia juga tidak tahu harus berteduh dimana. Lagi-lagi Giovani diikuti phobia seorang manusia baru. Muncul karena keinginan untuk mengenal Maripin, sekarang berbalik untuk pekerjaan dan tempat tinggal.

Bermodalkan bisa mengerti perkataan turis. Dia mulai bercengkrama dengan wisatawan berkulit pucat dan beberapa dari mereka juga berkulit gelap. Kegeraman akan barang antik bangsawan italia sahabatnya sekarang ini menjelma keadaan yang dijalaninya. Ingin mempunyai barang antik khas dengan nilai mahal membuatnya ragu. Dia tidak akan pernah mempunyai barang mahal itu jika hanya menerima tips cuap paling banyak 5 sen kartal logam turis.

Tiga bulan mengabarkan berita palsu kepada bapak. Tiga bulan seperti oasis, banyak kesenangan dan tawa menjelma sebagai ahli bahasa untuk para pelancong. Bahkan nyaris persahabatan kental itu menghasilkan lumbung barunya. Tidak ada lagi kekhawatiran tentang makan dan peninggalan yang adalah wajah bapak melihat toganya tersemat. Semestinya ini menjadi tahun keempat. Tetapi ketika bapak bertanya tentang penyelesaian. Dia tidak mampu menjawab selain kepalsuan berada di undakan banjar dia bertelepon memastikan jika semua keadaan baik-baik saja.
Keadaan sesempurna harapan Bapak Girsang. Kegirangan berbaur dengan malapetaka. Tentang malapetaka sesungguhnya kegembiraan semu sampai saatnya kegelapan itu menerima sinarnya. Setelah terbuka mungkin saja bapak tidak akan hidup lagi bila semua euforianya selama ini dalam ruang kosong seorang pramuwisata. Alangkah malunya perkataan-perkataan sombong selama ini. Dia tidak pernah membayangkan kejadian itu harus terjadi. Dan mereke menutup telepon masing-masing.

Dia menunduk sedikit melemah. Giovani tetap memberikannya pengertian tentang kepalsuan itu. Hentikanlah, cukupkan dengan kesadaranmu. Tidak akan pernah ada seekor singa makan disaat dia kenyang. Tidak akan pernah terjadi kematian, kekecewaan itu balaslah dengan harapan baru. Sebuah pelukan baru karena langkah baik dengan keadaan memuaskannya membuang sedikit domino kekecewaan itu.

Warnanya masih kelam tidak ada yang dapat dikabarkan. Balasnya dari berbagai nasihat itu. Persahabatan mereka berubah bukan lagi antara atasan dan bawahan. Mereka sudah bekerja sama, berjualan pakaian pantai untuk wanita. Lebih murah daripada mengambil barang antik. Semuanya hanya satu juta. Dia merogoh penabungannya dalam kotak kaleng. Dari semua uang itu dia akan membeli perlengkapan bikini masih bisa dapat kodian. Dia masih mendapatkan sen sisa ditambah jasanya memperkenalkan ubud.

Sampai saat itu terik sudah menjadi sore. Pecalang datang menghamipiri Maripin. Kejutan setelah tiga bulan meraup untung, tidak banyak bahkan hanya jalan untuk mencari pundi lain daripada hanya mencari pelancong yang tidak bisa membahasakan kesamaan. Pelancong sudah banyak berkeliaran sendiri tanpa pendampingan.

“Kami menerima laporan jualan bapak tidak bergabung dengan paguyuban?”. Perburuan barang dagangannya dipertanyakan oleh pecalang. Belalaknya menempel nama Ketut Wardana di bingkai nama dadanya. Dia terus berkata sambil melemparkan kain itu diserakkan. Tidak tahu mengapa ketika Maripin ingin menyelesaikan ucapannya dia tidak pernah menerima. Tidak ada kata-kata lain selain mengumpulakan kembali kain berserakan itu. Suara khas balinya menempel di permukaan kupingnya. Parasnya melemah hendak cepat pergi dan menghentikan celoteh pria berkumis tegap di depannya. Lalu menutup kotak penyimpanan bikini sekalian lapak itu.

Sekelumit kegelisahan perdagangan dia tidak berani lagi untuk menjualkan bikini. Melegalkan usaha itu dalam paguyubanpun tidak berterima lagi. Tidak ada anggapan kerelaan mereka penghuni asing menjualkan barang pada pelancong. Bila tempat itu berada di toko atau ruang tertentu tidak akan ada penangkapan. Siapakah sebenarnya Giovani si turi bule itu dikenal oleh petugas, hanya dengan membenturkan telunjuk dan jempolnya dan menunjuk ke arah dia yang bermasalah itu kemudian petugas melepaskannya.
Kepalanya masih merunduk tidak berdaya. Rambut gimbal gondrong berantakan, karena sebelum Giovani datang pecalang melakukan aksinya untuk member ketakutan kepadanya. Dia tidak diperbolehkan lagi berjualan tanpa paguyuban.

Taburan peristiwa mengingatkannya. Benturan antara bola salju menghentak dinding keras terpecah ribuan es halus. Tuhan itu baik ia adalah tempat pengungsian waktu kesusahan dan menyebrangkan mereka pada waktu banjir. Lain daripada banjir sen hasil melainkan banjir perkemelutan.

Beberapa hari dering telepon berdesir. Momok layar menunjukkan nama sekutunya. Bergrilya terus untuk mendapatkan kabar tentang perkuliahan yang dijalaninya. Sampai kapan decak itu datang, dia tidak mampu lagi mengangkat telepon itu. Berdering kencang penantian jawabannya berkata tidak. Dia mengetikkan pesan sedang menemui dosen. Seorang guru di pesisir pantai bukannya di kelas.

Dia tidak mendapatkan apa-apa. Berjalan diantara peristiwa pasar seni sukowati. Sekali lagi dia mencari si bule. Masih ada penawaran lain atau harus selesai sampai disini. Beruntunglah dia tidak hanyut dalam penderitaannya. Gelak pasar seni menguntai jelas jika antik itu menjadi kebutuhan para turis. Kebutuhan untuk dibawa ketempat asalnya atau karena seni mengalir dalam jiwa-jiwa bule.

Kembali menghantarkan pesan berantai. Giovani mempercayai dia, sosok kumelnya itu menjadi sarana sendiri iba si bule. Berwahana bak keberuntungan saling bertukar antara keduanya. Tawaran kepada dia mengambil cendana di Madura dan Jepara bahan ukiran antik untuk di buat di tempat ukir Giovani. Suatu seni mengukir cendana berbalur dengan warna khas dan simbol keberadaan bali, kenangnya. Seperti mahabrata dan siwanya suatu seni ukir tidak akan habis kecuali ubud telah tutup.

“Pegang kamera dan uang ini”. Dua barang itu sangat berguna untuk gambar tempat pengambilan bahan cendana di lokasi tumbuhnya itu. Dia berangkat menuju persyaratan kebebasan tersebut. Tidaklah dia tahu kelananya itu terjadi berhasil menjadi pelipur lara penantian bapak. Penantian tentang Maripin sematan toga dari kampus kuning. Menjadi seorang pengacara pengganti Hotman Paris si manusia milyar.
Tahun 1991, ia resmi mendirikan Gabe International. Beribu bintang dan beribu penolakan. Sebuah pernikahan tanpa restu, atau restu yang akan datang terlambat. Menerima keletihan Maripin berkelana dengan kedustaannya tentang peristiwa tanpa toga. Gabe berasal dari kata Gabriel, dia mengartikannya malaikat. Tanpa pernah melihat senyum bapak tergantikan dengan penghasilannya, dan tetap menjadi Maripin menjadi penjual ukiran cendana di ubud yang antik.  

Baca juga : natinedJs/Kumpulan-Cerpen

Post a Comment

Previous Post Next Post