Si Penghutang | Cerpen

“Lima menit lagi dia akan mengeluh lihatlah” ujar Cakra. Kulit hitam, bibir tipis, dan rambutnya selalu berminyak. Kejantanannya tampak dari caranya menerima ucapan wanita di sebelahnya. Ketika kami menikmati pangan pagi. Tidak tahu bagaimana wajah itu menjadi rupa serdadu dari kekalahan peperangan. Dia termangu hendak mengatakan semua keadaan hidupnya. Dia sudah menekukkan garis dari tiap sudut wajahnya. Diantara teman duduknya itu sudah banyak persiapan mereka untuk mendengarkan.



 Semestinya tidak sekarang, karena makanan ini masih baru disajikan. Mereka sudah ingin menyantap makan akan tetapi wajah itu mengurangi selera makan. Cakra terpelongok rasa yakin tentang wajah itu. Berubah sangat cepat bahkan ketika semua tawa sudah pecah di antara mereka. Mungkin dia tidak pernah menyukai tawa itu. Tawa lepas setelah pagi bersinggungan dengan seorang pemimpin ortodok di kantor. Tapi ini, suatu pertikaian di luar kehendak mereka bukankah sudah ini waktu mengurai tegang itu.

“Gila ya, gua masih ada sangkutan dengan Sindu?” hening. Ucapan itu kembali keluar dari Sapta.

Denting gelas kaca pecah. Keramaian dengan setiap canda menjadi keibaan tapi bukan kerelaan. Begitu cepat perkataannya menjadi puncak es yang terlalu dingin. Hening kembali. Sedikit-sedikit mereka tetap menikmati penganan.

Disampingnya tepat Isma, menentang setiap ucapannya dengan batin mengundang marah. Tergetar dia karena masih juga menantikan uangnya. Hanya saja Isma tidak tahu memecut kerbau. Bila kerbau itu masih terlelap bisa saja akan menyerang kembali menanduk membabi buta. Dia belum bisa berpikir bagaimana memecut kerbau disampingya itu. Karena, setiap permintaan mengembalikan uang dari Sapta. Akan berujung pada keluhannya yang tidak putus-putus. Bahwa dia tidak ada uang dan masih banyak tanggungan.

Dia memandang ke belakang melihat Prasti datang bersama Ransa. Memanggil mereka dan berpindah duduk. Dengan mengalaskan sesamanya sebagai wanita ketika Sapta menegur untuk tidak pindah tempat duduk. Dalam benaknya Isma berpikir apakah aku yang harus mengeluarkanmu dari belenggu keuanganmu. Setan kau Sapta.

Sapta menyerut kopinya. Setiap abu percikan rokoknya berada di dalam piring kecil tatakan gelasnya. Seperti tidak menyadari peninggalan itu sebagai amarah, kekecewaan setiap mereka juga alami kesulitan atas kewarasan. Seperti apa dia menjalani tapak demi tapak tiap harinya.

Seperti apa dia mengelola kehendak dalam diri. Kartal dalam jumlah cukup besar tidak akan bisa memenuhi penghasilannya. Kesah dari mulut berkicau seperti bongkahan batu lapuk pecah di terpa air bertetesan. Selalu berulang lagi dari antara orang baru bergabung dengan kantor mereka. Korban gelisah itu yaitu Isma sebagai pekerja baru tidak mempunyai nomor pegawai tetap seperti pendahulunya. Ketakutan di dalam dua dunia Isma tidak menjadi kupu-kupu atau tetap menjadi kepompong dalam gumpalan serabut temali tubuh. Perjalanan itu masih sulit untuk bisa tetap menjadi bagian dari kantor tempat kerja Isma.

Ketika Isma tidak memberikan hasil. Sapta sebagai pemegang keputusan untuk membantu Isma agar dapat tetap melaju pada pengajuan konsumen. Layak mendapatkan motornya atau tidak. Tergantung dari setiap bubuh tandatangan Sapta. Mereka memperdagangkan uang, Sapta sebagai penyelia buas memeberikan harapan palsu setiap persetujuannya. Mereka bertumpang padanya sampai suatu saat dia mengelabui dengan permintaan untuk meminjam sejumlah uang agar pekerjaan Isma dapat berlangsung mulus. Kesempurnaan penindasan berbau kelemahlembutan berujung pada kekhawatiran tentang memenuhi permintaannya.

Permintaan-permintaan berangsur pecah menyusupi setiap mereka. Penyusupan beragenda, Sapta mempunyai banyak rencana untuk memperdaya. Jalinan antara pemberdayaan yang terberdayakan karena harapan merekah bila setiap bulannya dapat menghasilkan 10 motor tiap penjualnya.

Beberapa saat setelah kopi itu habis Wangsa berdiri. Beranjak ke tempat Ransa kemudian mengambil tangannya untuk menepuk punggung Ransa. Setelah menyelesaikan perkataannya bersama Isma dan Prasti dia melangkahkan kakinya mengikuti jejak Sapta. Semua mata melepaskan kelelahan tentang setiap kata-katanya. Rendah meringis seperti pengemis tua renta. Dalam kedukaannya dia tidak mengambil setiap hati untuk mengibakannya tetapi meminta sedekah ketika benar dia tidak sanggup. Untuk mendapatkan rezeki lagi karena kerentaannya.

Bukankah elok kejantanan Sapta dapat mewakili pandangan jika dia bukan ‘si penghutang’. Begitu gagah tampilan Sapta celoteh kaum hawa. Setiap mereka menampik usia Sapta. Tidak pantas untuk mengambil bagian orang lain dengan saksi berbagai kesulitan. Berbagai kegelisahan kemudian muncul dalam percakapan mereka. Mempercakapkan tentang kemeringisan penindasan berantai itu. Tidak semua mampu bercakap tentang keadaan Sapta tetapi menyembunyikannya sebagai relung kekhawatiran. Dua sisi mata pisau. Rasa khawatir antara pertemanan atau saatnya akan menyayat perlahan. Cerita warung kopi itu tetap kembali pada Sapta. Tidak terang tapi tetap menjadi cerita.

Bagaimanapun perangkap ini mumpuni. Di dalam ruang pepohonan sepertinya tidak ada jalan yang akan menunjukkan tempat keluar dari ruang itu. Isma telah terhanyut di atas perairan tenang tetapi dibawahnya mengalir deras. Kemudian Isma juga pergi meninggalkan warungnya Bu Rus.

“Ma, cepat lagi kau ke rumah sakit bapak nak operasi!” perintah Ibu belum saja kata halo keluar dari mulut Isma. Lantas pergi meninggalkan pekerjaannya.

Rumah Sakit Abdoel Moelok. Rasa sakit seorang tua karena sakit penyempitan pembuluh darah. Dia terkujur lemah sudah saatnya untuk masuk ruang pembedahannya. Bapak Tono, dia bapak biologis Isma setelah perceraian mereka. Saat kurangnya kasih diantara mereka terjadilah perselingkuhan Ibu. Tetapi semua itu telah berlalu karena Bapak Tono tidak pernah menggantikan istrinya sedangkan Isma tetap tinggal dengan Ibu dan ayah tirinya.

Berpeluh Isma mengingat apa yang ada pada Sapta sampai sekarang. Dia membutuhkannya untuk membantu sebagian biaya operasi bapak. Ingatan itu terus menghampirinya. Dari sebagian keluarga juga mempertanyakan bagian Isma. Dia tidak pernah mengerti bagaimana mengatakan kebenaran tak terungkap itu. Untuk memintapun tidak bisa terkatakan. Sedangkan Sapta tetap hidup dengan kegelimangannya.

Siapa yang akan berakhir?. Akankah kelabu tetap tertutupi dari penantiannya untuk penilaian diri yang hebat dari perusahaannya bekerja. Membeli bantuan orang lain tapi diapun tidak mempunyai kekuatan untuk membantu. Dia bahkan tidak pernah perduli. Karena ketika ada seorang molek bersandar juga di tempat bekerja Isma, kemolekan itu memangsa Sapta. Akhirnya teman itu bernama Lina belum dua bulan bekerja sudah berhenti.

Isma tidak bisa bergerak lagi. Mungkin bila Sapta tetap membantu Isma dan bukan Lina artinya angkanya sudah cukup untuk mengangkat Isma dengan pekerjaan tetapnya. Benar-benar kekeliruan. Pupuslah sudah, angin berangsur menerbangkan sisa harapan. Begitu banyak harapan dari tempat bekerjanya itu. Isma memberikan kesalahan besar atas dirinya sendiri. Pengingatannya menghantui tentang keberadaan dana itu. Dimanakah sekarang keberadaannya ketika dia sangat membutuhkan. Kepada siapa semua cerita ini benar. Tidak akan pernah ada satu manusiapun di dunia ini yang akan membenarkan cara Isma menantikan kepegawaiannya.

“Uda, aku belum bisa membantu dana operasi bapak!”. Isma mencoba menyampaikan dengan lembut.

Kesinisan berangsur datang silih berganti. Pembicaraan halus di antara keluarganya. Sudah tidak pernah tinggal di rumah bapak, tinggal di rumah ibu bersama bapak tirinya saja. Kemana penghasilannya di ambil bapak tirinya. Pendengaran Isma bising tapi tidak pernah sampai di telinganya langsung. Tidak ada yang mempertanyakan hanya gumam. Menyerantah pelan tetapi menusuk dengan pernyataan keburukan langkahnya untuk hidup bersama sang ayah tiri. Batinnya harus berbuat apa, Sapta kau gila seperti binatang yang tidak mempunyai hati.

Sembilan belas juta. Pemberitaan operasi bapak sudah sampai di antara kegaduhan aktivitas kantornya. Beberapa orang dari mereka mulai mencari kabar kebenarannya melalui telepon Isma. Tapi, dia mencoba untuk tidak mengangkat telepon itu. Perhatiannya terbuang untuk bisa membantu sedikit saja dari biaya pembedahan. Suatu waktu dalam penderitaan orang tuanya untuk bisa menjadi anak. Bakti sebagai balasan.

Tidak ada yang istimewa dari tiap sudut ruang rumah sakit itu. Beberapa orang seperti dalam kedukaan karena pesakitan di sini. Isma tidak merasakan ada kehadiran uangnya dari Sapta. Satu per satu wajah di kantor muncul dalam lalu lalang aktivitas rumah sakit. Menantikan tiap detik perkembangan pembedahan Bapak Isma. Bersalaman, satu per satu menyatakan turut merasakan duka atas kejadian yang menimpa Bapak. Tapi wajah yang diharapkan itu tidak berdiri di sini.

Beberapa kali Isma melihat lorong rumah sakit memastikan kedatangan Sapta. Ruang Delima berada di dekat ruang ICU. Pandangan lalu lintas rumah sakit terlihat jelas karena tetap di muka rumah sakit.

“Sudahlah tidak perlu ragu Isma, tagih saja itu uangmu!” sontak Prasti. Wajah kesal Prasti.

Tidak ada kecukupan.  Cukup melainkan mencukupkan keadaan sebenarnya. Tidak akan pernah merubah lima dari pendapatannya yang hanya tiga. Akhirnya semua berujung pada ‘si penghutang’. Tempat seperti apapun menjadi peluang untuk mengambil bagian orang lain tanpa rasa pembebanan manusia lainnya. Adalah menghargai setiap langkah hidup. Jika tidak ingin memberikan derita siapa yang lemah. Kepentingan diri itu akan menjadi ruang sempit dan gersang ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat di dalamnya. Begitulah pesan bapak kepada Isma ketika pamit untuk tinggal bersama Ibu.

Bilakah kita berada di padang gurun panas akan mengeringkan tulangnya. Isma menantikan pencerita. Cerita tentang setiap kekesalannya karena berita tua-tuanya. Sangat tidak masuk akal jika Isma harus menceritakan sendiri untuk membantu masa operasi ini. Keluarga luluh lantak mencari pengganti asa penambahan sedikit dari jumlah pengganti jasa pakar pembedah manusia di ruang itu. Setelah dua jam melakukan operasi keluar sang pakar.

“Prak…”.

Amarah, tidak percaya menghantui Isma. Sepertinya dia bukan lagi seorang manusia karena kebohongan seperti kata mereka. Dia berdiam tidak mampu berkata-kata. Bapak tidak tertolong sangat terbatas waktu karena keputusan keluarga tidak cepat untuk penanganan bapak. Sudah tiada sekarang, hanya melihat tubuhnya sudah di balur dengan kain putih milik rumah sakit. Suasananya hening tidak bersuara lagi ketika keluarga masuk menuju tempat tidur terakhirnya.

Kepergian bapak merupakan penantian hati seorang Sapta. Dimanakah engkau saudara ketika uang yang kau pegang itu harus menjadi cercaan. Sementara dirimu masih tertawa dalam tiap kedukaan ini. Terimakasih saudara mungkin bapak sudah waktunya istirahat. Tetapi semua cerita itu tetap berada di balik hati Isma. Dia membungkusnya sangat rapi sampai tidak ada yang pernah tahu jika Sapta tetap tersenyum di warung Bu Rus.

Baca juga : natinedJs/Kumpulan-Cerpen

Post a Comment

Previous Post Next Post