Parau Anom | Cerpen

Semua masa lalu itu berharga. Keistimewaan benih bertumbuh menjadi darah. Menjadikannya mata indah perniknya membentuk bola. Ya, persis bola. Mata seorang anak bersih bersinar nanar tidak berdosa. Saat-saat tiap detik tangisannya berdenting istimewa. Ucapan kemesraan mengucapkan “cepat besar ya nak”. Atau, satu senyuman, kehambaran, penantian dan akhirnya lelah. Terpecah pada setiap agenda keseharian. Membosankan sunggung membosankan.



Dia sedang duduk memandangi Yani dan Syifa. Bermain gambar berdua di atas lantai semen kasar berdebu itu. Sesekali dia melihat setiap manusia berlalu melalang. Penglihatan itu sudah terbiasa bagi mereka. Gemuruh motor layaknya tronton karena knalpotnya sudah di ganti memekakkan. Tepat dipelataran teras rumah. Persis berada di pinggir jalan. Semen kasar menempel di sela-sela bata rumah itu. Karena, dinding rumah tua itu belum di plester. Batu bata bersusun rapi.
“Yan, dek masuklah ini sudah mau magrib?” panggilnya.

Tampang berkumis dalam ratapan pada kedua anak itu selalu tampak berduram. Melihat pertumbuhan kedua putrinya. Di usia mereka. Siapakah balur kelembutan yang akan mendampingi mereka?. Tidak mungkin dia menjadi wadat tapi memelihara kedua anak ini. Ingat induk kasuari berbulu biru dilehernya itupun tidak akan pernah memelihara anakan yang bukan dari eramannya. Putrinya terlahir dari jebakan cinta. Perbuatan yang mengarah pada keputusasaan. Seperti sekarang ini. Anggapan hati-hati dengan apa yang kamu harapkan mungkin benar.

Perempuan itu sudah pergi entah kemana!. Mungkin dia pergi dan sudah bermuara di Doli menjajakan tubuhnya. Dia bernama Siska Inge. Jebakan persetubuhan merangsek mereka. Menjadi satu tubuh. Sehingga dia harus menanggung kelahiran mereka. Sedangkan induk sendiri hilang memelihara liangnya cuma untuk makan dan minum enak. Tempat pembayaran hidup perempuan itu menjadi kegelimangan yang tak berarti. Dia tidak pernah menjadi ibu mereka. Tapi, hanya sebagai persinggahan kelahiran mereka saja.

Setelah dua jam dari meja makan mereka. Anom terperongok melihat Rizal muncul di depan pintu kropos bubutan. Butir-butir rautan rayap berjatuhan ketika Rizal mencoba mendorong pintu.
“Ngek…!” suara pintu di buka.
“Dek itu ada papa Rizal, ambil martabaknya?” Kicau Anom sembari melemparkan senyum pada Rizal.

Sudah menjadi kebiasaan persahabatan mereka. Dua tetua rentanya yang sedang menonton televisi itu saksi persahabatan mereka. Rizal sudah menganggap seperti orang tua sendiri. Kudapan apapun bila tersaji oleh ibu mungkin dia sudah menelannya duluan. Air liur uraian masa tidurnya juga sudah menempel di kasur rumah itu. Terutama kasur Anom. Dia menjadi sosok yang paling tahu keadaan Anom. Kelelahan laki-laki dengan anak tak bertuan karena dia sekarang sudah menjadi bapak.

Sesungguhnya Rizal menjadi sahabat keberuntungannya. Bertolak dari jalinan persahabatan itu sudah begitu lama mungkin sekitar lima belas tahun. Paling terutama dan paling di ingat oleh mereka. Amarah besar seorang bapak ingin membunuh kenakalan anaknya. Rizal menjadi pendamai. Siapa yang tidak terpelongok. Siska tiba-tiba datang membawa kelahiran Syifa.

Bapak Anom tidak terima sama sekali. Kepulangannya dari mushola mendapat sambutan gemetar. Sebilah pisau sudah tergeletak rapi. Begitu ketakutan Anom, beruntung sekali keberadaan Rizal menenangkan ketegangan itu. Caki maki keluar dari antah berantah, meneriaki Anom. Kasihan melihatnya, dia tidak pernah tahu jika bayi mungil ini sudah lahir. Tapi, Yani bukanlah benihnya sejak awal Anom sudah tahu Siska sudah mempunyai anak.

Cucu terlahir tapi mereka tidak dinikahkan oleh bapak. Merebak rasa tersingkirkan, terlalu kejam sebagai pengurus mushola mendapati anugrah itu. Di balik dinding semen itu Siska boleh tinggal sementara. Tetangga di belakang rumah hanya tahu Siska adalah keponakan ibu.
“Ran, nyo kaba wah?” lontar Rizal.

Perhatiannya memusat pada Anom karena simpul lamunan itu tidak biasa. Menerawang jelas sekali hanya kepada Yani dan Syifa. Benar saja pria korelis kuat itu menendang kaki kursi yang diduduki Anom. Bentaknya kamu ini payah, sudah lagi Cuma merenung saja. Tiap orang itu tidak luput dari khilaf. Meratapi terus Cuma memburukkan dirimu saja. Memangnya Yani dan Syifa itu makan gulanamu?. Bukan begitu, gerak sajalah mungkin di luar sana terbuka arena buatmu!.

Rizal mengungkap begitu menyolot. Meletup-letup sepertinya kurang sadarkan diri juga. Bau sakau menyengat setiap kali berbicara keluar dari udara pernapasannya. Tetap saja Anom tidak bergeming. Lengannya dengan tato tengkorak langsung menangkap pundak Anom. Mereka masih berdua di dudukan meja makan itu.

Menjadi miskin membuatnya masuk dalam geng. Rizal kabur dari perburuan kebaikan dan menyingkapnya di atas tirai bambu rumah mereka. Lihatlah akibat perbuatan Rizal. Istrinya dengan seorang anak menerima nafkah keji itu. Justru dia selalu menampakan sumringahnya manis setiap saat. Pemerasan itu bukan kesenangan. Alasannya pada kebaikan sudah terlanjur.

Jiwa Rizal termiskinkan, tidak mampu melihat penderitaan istri dan anaknya. Sudah tidak bisa dihentikan untuk menjadi pemeras sumber penafkahan mereka. Dia tidak pernah menghilangkan nyawa seorangpun.. Dia melakukan pemerasan itu untuk ‘si jagoan’ anaknya. Hanya itu sumber rezeki bagi sang anak.

Pemerasan itu bukan di latar belakangi kekerasan. Tapi, gertak senpi rakitan member ketakutan mangsa mereka. Jalur karetan tempat mereka beraksi merangkul korban. Dalam kebisuan ruang hijau, suasana teduh. Tidak berpenghuni berubah menjadi ketegangan. Mungkin hendak mempertahankan kuda besinya agar tidak beralih pada geng itu. Penodongan membekukan korban seperti di suntik mati. Menyamai seorang mayat membujur kaku dan pucat. Tidak mampu berkata-kata untuk melawan. Karena, akan menghilangkan nyawanya. Geng itu pergi meninggalkan pemiliknya yang masih gagu terdiam tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hitungan menit ketika mayat itu bangun.
“Tolooong…!” teriakan korban setelah kepergian mereka.

Keheningan karetan, membuang setiap gelombang suara. Pecah di dalam ruang-ruang kebun itu. Singkatnya Anom mengetahui setiap aksi Rizal di karetan Wana Melinting. Setiap pukul satu siang, penderes sudah berpulang. Prihal kebajingan. Hendak menampar Rizal dengan berbagai cercaan. Ataukah nasihat dan tegoran itu tidak masuk akal bagi Rizal. Persahabatan mereka menjadikan Anom membenarkan perbuatan Rizal. Keberadaan sahabatnya pintu selalu terbuka lebar. Buah tangan Rizal selalu menjadi penganan kedua anak Anom. Bersama bapak dan ibu mereka menikmati bawaan Rizal.

Pembicaraan mereka membeku. Lama setelah itu kopi hangat buatan ibu tepat berada di depan Rizal. Bersama gelas kopinya dia beranjak memilih pergi ke teras depan. Terlalu jemu ketika lawan bicara kita hanya termangu. Lebih baik menemani nyamuk di luar rumah. Menemani nyamuk yang hendak mencari darah manusia. Senyum simpul dilemparkan Rizal pada Anom. Melihat Anom terperanga, berbusanakan sarung.

Percakapan Rizal melalui telepon genggam di teras. Kemudian, beberapa menit menghabiskan kopinya Rizal pulang tidak berpamitan. Mungkinkah percakapan telepon itu sebuah aksi lanjutan. Apakah mereka juga melakukan pemerasan di malam hari?. Ternyata tidak. Dugaan itu salah kekecewaan Rizal karena silaturahminya tidak berharga. Tidak akan di cari lagi. Rizal kapanpun bisa datang dan pergi dari rumah itu.

Bahkan istrinya tidak pernah mencari Rizal. Bukan sikap tega atau tidak ada kecintaan dari istrinya. Melainkan sudah melepaskan Rizal bepergian dalam panjatan doa. Doa untuk kekejian. Mungkin munafik tapi orang melakukannya. Biarlah ketika jasadnya pulang karena kalah tidak untuk ditangisi. Kematian selalu menanti gelanggang pemerasan yang dilakukan Rizal. Pesan itu mendalam buat istrinya. Dengan keadaan seperti itu istrinya tidak pernah menyerahkan diri kepada belang lain. Tapi kesetiaan menjadi milik mereka.

Rerumputan menertawai siang. Begitu teriknya ini bisa mematikan tanaman liar sekalipun. Di depan Rumah Rizal sudah bersusun rapi hamparan rerumputan. Dia piawai memelihara tanaman. Tidak untuk menunjukkan kelemahannya tapi begitulah dia. Selalu tertata susunan taman manusia perampas ini. Kebengisannya tetap menjadikannya suami baik di keluarganya.
“Bu, coba ambilkan air untuk basuh culuk?” permintaan Rizal kepada istrinya setelah menyemai.
“Breng…bring!”. Suara motor menjinakkan aktivitas mereka.

Jelas sudah Rizal mencoba bertoleh melihat orang di balik helm itu. Tepat membuka helmnya, teriakan ‘Anom cabul’ melesat dari mulut Rizal. Keduanya saling melemparkan senyum. “uwo” menegur istri Rizal. Setelah perbasuhan tangannya dan sudah bersih mereka masuk perlahan bersama ke dalam rumah.

Tidak ingin mengingatkan kekecewaan malam itu. Percuma saja sudah hampir satu minggu mereka tidak bertemu. Rizal mengira sepertinya ada yang menarik. Kedatangan tak terduga ini. Mereka tidak melakukan percakapan di teras seperti biasa. Ini benar-benar diskusi singkat. Ada apa sebenarnya?. Tidak ada kias bias menyeloroh dari Anom.
“Zal asing jawoh ni, jajama ke Wana Melinting?” desak Anom.

Ucapan itu sangat tidak masuk akal. Mau ikut bersama kami?. Peran apa untukmu Anom. Masih lugu persis keadaan tiga bulan lalu. Geng itu bertemu dengan seorang anak bertubuh gempal mengendarai motornya. “Ptakk…!”. Hentakan senpi mengenai badan motor. Membuat bocah gempal itu tidak sadarkan diri. Ada sedikit kemiripan dengan sahabatnya itu. Tidak mungkin mengajak Anom. Nanti malah tidak jadi mengais hasil penjabalan?. Tapi, melihat Anom kejang tidak sadarkan diri. Tawa tipis.

Keprihatinan Rizal membuatnya luluh. Cercaan pada Anom sudah di luar batas. Cibiran mengolok-olok persisnya tetangga sahabatnya itu dewa yang tidak pernah berbuat salah. Memikirkan keadaan itu Rizal tidak mau memperburuk nama Anom. Wajah merah padam Anom dari terpaan sinar matahari itu membantah. Segala pengertian diberikan oleh Anom. Untuk memperjelas keinginannya ikut mengambil bagian menyamun motor. Penjelasan terpenting hanya karena Anom sudah hancur. Sekalianlah hancur supaya bisa membeli susu untuk Yani dan Syifa.

Pukul 13.00. berkisah suasana jalanan. Dipenuhi pengendara yang akan memasuki Melinting, karetan. Jalan-jalan di sana rusak parah. Menyulitkan untuk menaikan kecepatan. Lubang jalan dapat membuat lebih celaka. Sekitar tiga kilo dari karetan itu pengendara tinggal beberapa sudah hilang di perempatan yang mengarah jalur hidup. Nah, itulah jalur matinya mereka sudah mendekat. Jalur kematian karena hening melakukan penjabalan pada pengendara yang lewat.

Tepat sekali dua pemuda mengendarai motor pelan. Setibanya, beraksi Anom tidak sabar menantikan senpi berada di belakang mereka. Tidak berpengertian dan tanpa aba-aba Anom meragas. Sepertinya lihai, rambut gondrong pemuda itu memang cocok dijambak. Motor itu melesak menggeser dua pemuda itu sampai berada di pinggir pohon karet. Naas, malang sekali?.

Senpi terdaftar malah bersarang di belakang Anom. Sekawalannya mereka dua pemuda itu. Tidak menunggu waktu lagi melihat keterasingan Anom. Di saat itu juga Rizal melarikan diri seorah-olah bukan bagian dari aksi itu. Kedua mata tepat saling melihat antara Anom dan Rizal. Memilih untuk menyingkir sesal menyiratkan pandangan itu.

Senja. Beberapa jam dari Wana Melinting. Sebuah pertanggungjawaban. Tidak sesuai dengan kenyataan, kemauan sudah terbuka. Merintis penjabalan untuk mengurai tangisan. Malah dua pemuda gondrong itu lawan aksi mereka. Pelindung masyarakat, keresahan di Wana Melinting itu memalangkan langkah Anom. Sekitar enam sore berada di polsek Sindang Sari.

Suaranya parau, seperti tidak ada air pelega tenggorokan Anom. Sudah empat bulan memenjarakan diri. Jelas sekali parau Anom menyiratkan kedukaan begitu dalam buatnya. Melihat Yani dan Syifa berada di pangkuan Rizal. Tidak seperti yang dia bayangkan. Untuk membayarkan susu di warung hutangannya. Bayarannya jeruji ini.

Taburan air melintasi pipinya. Terasa lega bersama sahabat keberuntungannya. Dua anak itu menyinari Anom dengan mata penebusan dosa. Rizal tidak tinggal diam akan memelihara Yani dan Syifa. Janji berbalur dengan rasa duka. Tapi, sangat berarti buat Anom. Agar dia ingat Yani dan Syifa tidak makan sampah. Tidak lupa permintaan maaf Rizal karena tidak mengeja dengan benar aksi kemarin. Tapak korban akan berbeda dengan jebakan setiap penjabalan mereka lakukan. Tidak dengan tergesa.

Lihat juga : Kumpulan Cerpen natinedJs

Post a Comment

Previous Post Next Post